Laman

Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Madura

Selasa, 23 Maret 2010

Bakti Mata Carang

Kelahiran tanah pelosok kampung Bungduwa’ Sumenep Madura. Tulisannya telah terbit di berbagai media baik nasional maupun lokal. Alumnus PP al-Huda dan MA NASA Gapura Timur Sumenep. Saat ini masih terus aktif menulis karya fiksi di tanah kelahirannya. Mengasuh sanggar 7 Kejora, Kobung, Bengkel Sastra. Sajak-sajaknya terkumpul dalam antologi bersama yang perdana “Narasi Sebatang Rindu” Sakhera Pangabesen, 2010.


Biografi Sajak Rembang

Sajakku luruh ke dasar gelap
di lentang musim tahajjud mawar
menaruh akar pada gerai rambut perawan
Baca!
satu kata memenjara ribuan hati purnama
sajakku
hilang tajam beling
tersusun dalam bening
padam
bersama sepincuk adzan
yang menghibur lukalukanya sendiri
dalam kerjap mata muhammad
tulis!
Satu huruf menusuk lakon
seperti pecah jarum menjahti kenangan
setelah perpisahan

Sumenep, 280709

Perasaan yang Tertinggal di Pangkal Rambutmu
;Gusti elvia


Hati dirambah kakimu dengan perjalanan harum kumkuman
tumpah dari dua mata bulan yang menukar kilau
pada kesakralan malam lebaran
paku mata Yusuf, rembang menimang surat-surat cinta
memacak bidak sejarah ke beranda kebohongan Zulaikha
setelah melambang senyap tanah mesir di atas payudara
; Hanya dalam cinta
tubuh laut melebihi semesta

Sumenep, 310709


Belacu

pada belacu
hati tembok tua menyimpan murung
seluas minat ujung sabit melenyapkan gugus mata
lampu
di kamar tak berkelambu
(kematian menawarkan jenisnya yang lebih toleran
tanpa ketakutan, tanpa kehilangan, tanpa pesakitan
hingga menjadi pilihan bagi mereka yang tak pernah
bercinta menemui cantiknya dunia di ujung jalan)
pada belacu
asbak ata kukus
menyerap
maqom tembok tua
jadi juang yang terbang

Sumenep, 2009

Ibu

hanya ia
langit merendah di garam laut
meminjam asin untuk lidah hujan
yang menjilat peta di luar
bismilla
Sumenep, 250809
Di Muka Cermin
Hamzah takdzim
menancap
pada lambung trotoar
;……dan rumahrumah
kembali pada ajal

2009


Kembang Sujud

tuhan jatuh di lengkung garis hujan
dan guntur yang menampar-nampar runcing bulan
telah sampai dalam
jabat tangan
“lama tak mengenal-Mu yang Esa
selain kisut bayang membenam dalam kolam”
lubuk debu semu membisu di pias suram
biji istighfar
seperti gaib-Mu selalu kutanyakan
pada jalanjalan
yang enggan membuat batas
di keangkuhan zaman
Bungdua’2009
Menjelang Subuh
kujelang subuh, dingin sepi masih sebilah keris
melukai pertapaanku di lubung terkhim
tiada harap kecuali jalan melengkung
dari puncak sarung mengapi korek api
dan daun kering
ibu mendengkur dalam lepuh bulan dalam plastik
seperti ayah menusukkan pakupaku ke tubuh jam
agar waktu tak menyuruh
kujelang subuh, seekor semut mengumpan kail
ke dasar kepalaku mungkin ikan kecil yang kau
selamkan telah bersisip salju berenang
mengunyah purnama di setiap kota
“Aina….?”
kilau bohlam pada bulubulu kucing yang tidur nyenyak
membuat dusun lain
menyuruhku hijrah dengan pagi yang lebih perawan
menundukkan lambai mawar
terambang teduh di mata pisau

2009

Tidak ada komentar: