Laman

Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Madura

Minggu, 13 Maret 2011

Masduri,



Lahir di Jadung Dungek Sumenep pada 16 Rabi’ul Awal 1412 H bertepatan dengan 25 September 1991 M. Suka menulis Puisi, Cerpen, Artikel dan Resensi. Beberapa tulisannya sudah tersebar diberbagai media, baik lokal maupun Nasional. Semasa kecil ia menamatkan pendidikan dasarnya di MI Tarbiyatul Muta’allimin Jadung, dan melanjutkan di MTS & MA Nasy’atul Muta’allilmin Gapura. Disamping belajar di pendidikan formal, ia juga menetap di PP. Nasy’atul Muta’allimin (NASA) selama enam tahun. Di PP. NASA bersama sahabat-sahabatnya ia mendirikan komunitas EDENSOR, sebagai media pembelajaran berdiskusi dan menulis. Sekarang sedang menempuh S1 di IAIN Sunan Ampel Surabaya jurusan Akidah dan Filsafat, sambil nyantri di PP. Luhur Al-Husna Surabaya. Ia aktif di bergagai organisasi salah satunya, Bengkel Penulis PP. Luhur Al-Husna, IKMAS, dan PB. IKON. Cerpen dan puisinya terbukukan dalam Antologi “Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan” 2010. Blog pribadi www.masduri.wordpress.com dan E-mail: masduri_as@yahoo.co.id


Nek, Mimpi Itu!


Nek, batu-batu yang aku
susun dari keringat masa lalu
dewasa dengan air matamu
membentuk lingkaran bola
tanpa jedah titik koma
bergulir seiring nafas
melantunkan lagu-lagu legenda
para pujangga

Nek, keriput tubuhmu
mengikatku dengan seulas tali
yang aku panjangkan sebagai jalan pulang
untuk aku titi di persimpangan waktu

Nek, dari uratmu
gairah mimpi tumbuh kembali
subur bersama wejangan
yang kau tanam di sanubari

Nek, aku kembali mengingat
saat kau mengajariku kata-kata
mengeja rangkak hidup
yang berjalan dari warisan leluhur

Nek, darimu sumbu damar
tak pernah redup
selalu ceria melukis aksara mimpi

Nek, mimpi itu
telah beku menjadi baja
tak surut pantang kembali
biarlah ia keras dalam hati
aku akan belajar dari senyummu
yang tak lelah memanjat takdir

Nek, bila aku pulang
dengan panen melimpah
aku ingin mengajakmu berlibur
menyusuri purnama berparas mawar
biar engkau tahu luasnya jagat bumi
serta layar mimpi dapat mengalir ke rumah tempat aku dilahirkan

Nek, kau muara tempatku mandi
membersihkan kegelisahan ruang hati
semoga aku dapat mengembalikan
keringat dan air matamu
meski tidak sederas terjun

Jadung, 19 Februari 2011


Ibu, Mimpi Itu!

Aku lahir dari senyummu
Di pelataran senja
Sebagai purnama menyambut pekat asap
Kugulung tikar-tikar sepi
Terang bercumbu bersama tawa
Menertidurkanku dalam pelukan mesra
Aku telah satu dalam hati dan jiwamu
Karena aku lahir dari makanan
Yang kau lahap ibu
Sebagai pengganjal meluruskan
Bambu-bambu pagar rumah

Kini aku telah dewasa
Mulai menaiki keterjalan bukit
Bersama krikil-krikil kugarap
Gapura depan
Pintu gerbang aku pulang
Tempa kau menyusui baliaku

Air mata dan keringat yang membesarkanku
Telah matang mengaduk dalam bejana
Rindu masa depan yang lahir dari mimpi

Ibu, Mimpi itu
Telah ratusan abad menjelma jadi puisi
Saking aku belum sempat belajar mengartikan
Kata-kata tanpa tubuh dan baju
Karena terlalu dini
Jasadku mengumpulkan darah dan sumsum
Mulai hari ini
Kuikrarkan hidupku jadi mimpi
Dan mimpi adalah jasadku
Untukmu ibu

Aku lahir dari mimipi
Dan kembali kepangkuanmu
Dengan menebus mimpi
Yang aku gadaikan pada
Pada bukit-bukit air mata

Jadung, 21 Februari 2011


Bapak, Mimpi Itu!

Derap kakimu
Selalu mengusik kesendirianku
Tak letih membajak nasib
Meski tanah-tanah liat
Membentuk batu tajam
Mengungkung dalam tangis siwalan
Kadang-kadang pula air laut
Mengasinkan tubuh dan bajumu
Demi seulas senyum dari keluarga

Bapak, urat-urat tubuhmu
Mengekar menebas batang-batang duri
Di pesimpangan jalan
Tempat nasib dipertaruhkan
Keringat yang menetas jadi senyum
Membakar nyali anakmu
Untuk tegar melampaui
Gelombang laut dan angin badai
Di sana telah kupetakan jalan
Jelajah ruang-ruang angkasa
Biar aku bisa belajar dari gigihmu
Tak tidur sepanjang petang
Mengais rezeki dari keringat laut

Bapak, mimpi itu!
Lahir dari senyummu
Yang kau lukiskan pada tubuhku
Saat anakmu masih dini
Melontarkan kata-kata lewat daun sirih
Aku dewasa karena cinta kasihmu
Tabi’at nurai sang pahlawan
Tak harap pulang kembali

Bapak, aku tak akan beranjak
Sebelum semuanya
Benar-benar rampung dihadapan
Mimpi itu adalah adukan keringat
tangis, dan senyummu

Jadung, 23 Februari 2011

Senin, 07 Maret 2011

D.Zawawi Imron



(Batang-Batang - Madura)

Dikenal sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1982), Tahun itu terbit kumpulan sajaknya “Bulan Tertusuk Lalang” (Balai Pustaka). 1987, “Nenek Moyangku Airmata” dapat hadiah Yayasan Buku Utama. “Celurit Emas” dan “Nenek Moyangku Airmata” (1990) terpilih buku terbaik Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Penyair tinggal di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Zawawi banyak berceramah Agama sekaligus membacakan sajaknya, di Yogyakarta, ITS. Surakarta, UNHAS Makasar, IKIP Malang dan Balai Sidang Senayan Jakarta
Juara pertama nulis puisi di AN-teve (1955). Pembicara Seminar Majlis Bahasa Brunai Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majlis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai Darussalam (Maret 2002).
Kumpulan-kumpulan sajak “Derap-derap Tasbih”, “Berlayar di pamor Badik”, “Lautmu Tak Habis Gelbis Gelombang”, “Bantalku Ombak Selimutku Angin”, “Madura Akulah Darahmu”.
Salah satu puisinya :

Ibu

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunpun gugur bersama reranting
hanya mata air airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sarisari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang meyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu


Di Sebuah Tikungan

Di sebuah tikungan aku bertemu seseorang, sambil
menyebutkan namanya yang tak mungkin kuhapal
ia mengulurkan tangan
Tapi tangan kananku sedang kutinggalkan di rumah
menepuk-nepuk paha anakku yang hendak tidur,
terpaksa kuulurkan tangan kiriku
Orang itu marah, seketika tangannya berubah menjadi
cakar harimau, dengan kuku-kukunya yang tajam
bersiap untuk menerkam
Aku lari. Begitu ia mengejarku dan mengejarku, untunglah
segera kutemukan tempat aman dalam kidung
yang disenandungkan ibuku setiap larut malam

1978


Pesona Itu Melompat

pesona itu melompat
dari pematang ke pematang
(seperti kupu-kupu yang ditangkap
anak di taman
menabur serbuk-serbuk sanubari)
laut melambai
ketenteraman

-siapakah engkau ?-
tanya roh kepada badan
badan pun lalu menari
sedang roh memukul gendang
sekaligus melagukan nyanyian

pesona itu melompat
dan terus melompat
melumat-lumat kenyataan

1978