Laman

Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Madura

Sabtu, 27 Maret 2010

ABA YASIN

ABA YASIN.seorang penulis berdarah sunda yang dilahirkan dikota metropolitan lebih tepatnya pada tanggal 09 oktober 1992. sekarang ia tercatat sebagai santri Annuqayah, ia sekarang juga aktif didunia Teater dan berproses bersama kawan-kawan dikomunitas sanggar ANDALAS.
Alamat : Jl. Makam Pahlawan no.02 PP. Annuqayah Daerah Lubangsa blok E/13 Guluk-Guluk Sumenep Madura 69463.


Percakapan Di Ruang Tamu Perbatasan Senja


Percakapan di ruang tamu perbatasan senja
Aku terkapar di antara kesunyian dedaunan
Sebab cahaya lampu neon di kamar itu
Telah padam di matamu

Kau hinggap didahan pohon
Belakang pekarangan rumahmu
Sambil tersenyum kau goreskan
Luka pada tubuhku

Suara yang semestinya tak lagi
Tercatat dalam setiap langkah kaki
Kini kembali menjadi cerita matahari
Yang tak terlupakan disepanjang musim kemarau

Hingga pada akhirnya
Penghujan pun tiba
Dengan membawa sepotong
Bunga mawar dari kamar

Tanean Saghara, 10 agustus 2009

Senyummu Mengalirkan Darah Dalam Tubuhku

Seyum seperti kaca
Yang disetiap goresannya
Mengalirkan darah sampai kehilir
Turun dari ubun-ubun melewati peredaran darah
Sampai keujung kaki

Tawamu terselip diantara rerimbunan
Dedaunan dihalaman rumahmu
Dekat pohon mangga kau duduk sambil
Mengelus keningmu dengan sapu tangan
Yang tak sempat aku sucikan
Dari sisa darah yang menetes keluar
Dari ujung kaki yang tertusuk
Jarum yang terikat pada benang hatimu

Hingga sampai saat ini
Aku masih membalut luka yang
Mengalirkan darah dari senyummu

1/3 malam, 04 Oktober 2009

Pesan Untuk Saudaraku
(buat sae talareksa)

Kak,
Jika nanti matahari telah menghangatkanmu
Dan sepi tak lagi merajam waktumu
Jangan lupakan aku

Sebab dulu kau pernah
Menyetubuhi malam-malamku
Hingga tanpa kau sadari
Tengkukmu basah oleh air-air di kepalamu

Andalas, Desember 2009


Bulan Bengkok

Malam itu,
Ada seorang ibu membacakan
Dongeng untuk anaknya
Tentang bulan yang selalu mengerang

Sang anak pusing
bukan kepalang
Ia berpikir mana ada
Bulan yang bisa mengerang

Siibu tersenyum
Melihat anaknya
Yang mengerutkan dahi
Sambil gigit jari

“Nak suatu saat kau akan mengerti
Sebab kau nanti akan menjadi kesatria
Dengan seperangkat alat shalat untuk istrimu”

Sang anak semakin tak mengerti
Menggaruk-garuk kepala, ia melihat kelangit

“Bu, malam ini kok bulannya bengkok”

Siibu tertawa hingga malam larut mengandrungi mata.

Guluk-guluk, 2009

Selasa, 23 Maret 2010

Villson B. Eng:




Lahir 11 Juni di Sumenep Madura. Karyanya dimuat di harian Radar Madura. Pernah aktif di beberapa sanggar sastra. Kini tengah berencana menerbitkan antologi tunggal: Ladang Sunyi. Alamat kontak email: rengdhisa@gmail.com.


KEMBARA 1

Langkah diberondong legam
Memar lebam di tanah suram

Mimpi pun basi
Menunggui kuburan resi

Ambruk sangat dalam
Digusur dendam

2009

KEMBARA 2

Biar begitu, masih sering aku bersua
Pertapa merapal mantera tanpa makna

Kalau pun bermakna
Ujung-ujungnya yang terbaca
Tak tepat guna

Jaring-jaring dan laba-laba
Di jantung gua justru merajalela
Perlahan-lahan memangsa

Tinggal nama
Dengan gading yang sirna

2009


KEMBARA 3

Hingga hujan yang turun
Menebar deras sejuk halimun
Sebentuk pelampiasan
Tak berkesudahan

Mengikat musim-musim
Penyemian diulati minim
Pucuk-pucuk patah oleh nisbi
Setebal kabut yang tersaji

2009


KEMBARA 4

Melintas malam menembus siang
Bagianku adalah pagi yang tak terang
Lengang kerontang ditumpuki belulang

Aura dan hawa siluman
Terus-menerus menyesatkan pencapaian!

2009


BERCAK

Bukan semata tapak-tapak
Ternyata tanah terjangkit bercak-bercak
Wabah aneh yang hamanya tak mudak dilacak!

2009


CERITA IBU

Ibu berkisah seperti mendesah:

Di luas raya cakrawala yang menaungi kita
Sekelompok makhluk pemangsa tinggal di sana
Mengikis hawa murni, menghisap daya hidup kita
Tumbal utama untuk mengongkosi selera
Percumbuan syahwat mereka yang berhati buta

Ibu akhiri cerita. Mata-matanya berkaca-kaca
Berlinang menatap ringkih tubuh anak-anaknya

2009

Musyfiqur Rahman



Lahir di Sumenep 5 Juli 1994 asal Ganding
tekun menulis puisi mulai ia duduk dikelas VIII
MTs. Bercita- cuta ingin mrnjadi penyair yang bisa mengubah peradaban suram menjadi peradaban yang terang menderang, sekarang ia duduk dikelas akhir MTs. 1 Annuqayah, dan nyantri di PP. Annuqayah Daerah Latee Rayon Darul Lughah Al-Arabiyah
Alamat: PP. Annuqayah Daerah Latee Rayon Darul Lughah
Al-Arabiyah no 05
Jl. Makam Pahlawan Guluk-Guluk
Sumenep Madura 69463
email: arrahman_afia@yahoo.com


PIJAKAN SANG TUNANETRA

Awali pertemuan itu
Menghembus karena angin menepi
Tujuh kali keliling
Matagari padang siang kembali malam
Engkau tusuk dengan jarum
Sehingga peti yang engkau pinta
Terbuka meleset pergi
Mengapa engkau lihat darah
Dan melambaikan tangan
Menyebarkan tali
Agar aku bisa mendaki tali itu
Tetapi itu hanya memakan sisa air
Setelah beribu-ribu tahan berubah
Sehingga dikatakan pada tulang-belulang
“kami sekarang akan memberikan
matagari ditanganmu”
tetapi engkau buka pakaian kata
datangkan pada sayap burung
sehingga pulau yang dulu kami bangun
akan berhati-hati membuka urat saraf
sejauh tuan yang membaca ceritaku
ysng dulu sempat aku tulis didedaunan
dan lautan sebagai tinta

Guluk-Guluk 02\2010

BERKAS PUING DESA KAMI

Awali perjumpaan dengan perjalanan
Memupuk perhatian derita
Mendapatkan teriakan angin
Karena kami sedang menghadiri pesta
Demi anak tujuh turunan
Akan berlayar manuju kebun
Meninggalkan puing-puing dan berkas
Angi bersemilir membawa layar perahu
Menyisakan setapak jejak penggalang jejak
Lalu berubah menaklukkan kota
Di depan deesa yang penuh petir
Menyambar kehidupan yang mereka buat
Dari lagu kapal peperangan
Oleh mereka yang membaca tarian bumi
Sehinga air mata bumi menati aral
Menjadikan kami lubang
Wajahnya menyerupai udang
Yang tebang mencari teka-teki
Air mata terbaring di atas tawa mereka
Lalu apa arti makhluk yang selalu menepi
Karena pada mereka
Semua orang di sini
Mengharap makanan dari peluh

Guluk-Guluk 02\2010

Ummul Corn,

Ummul Corn,
Ummul Corn, adalah siswa SMA 3 Annuqayah. Berasal dari desa Tambuko Guluk-Guluk Sumenep 69463. Dunianya cukup silau oleh dongeng-dongeng pada setiap kilau butir jagungnya.


Membelah Topeng

Mad, nyala matamu adalah kunang kunang, malam itu
;saat kau menjelma katak bertapa dengan mahkota
Gigil angin menyapu telingaku
Lembut
Kau pintar meniup rasa
Kau lihai membisik kata
Tapi bagiku
Tak perlu kacamata untuk ku mengikat mata
Sebab aku tak rabun untuk
melihat tubuhmu yang biru, jernih, cahaya, dan panas
(hanya, aku takut terbakar…)

Ssst!
Suaramu berisik, Mad
Seperti tak tik hujan yang jatuh di seng kamar mandi
Hampir kau buat aku luluh oleh abjad
yang kau pahat pada relung relung rumah kayuku
Untuknglah
Tuhan masih melekat dalam urat
Hingga topengmu dapat kubelah

Guluk-Guluk, 04 Maret 2010


Kita Adalah Robot

Pada sebuah jembatan sore
Kau tengkurap di atas hamparan karpet merah
Kuda putih menari-nari di punggungmu
Aku berada di bawah cahaya bulan
Yang violet
Matamu
Juga pedangmu
Kita bertemu di rel kereta api siang bolong
Bohong
Khayal
Semua jadi kacau
Balau
Kau tertawa
Ada apa?
Aku menangis
Mengapa?
Pada sebuah keadilan
Kita tak pernah bertemu
Kau sore keemasan
Aku malam pekat
Siang itu rumah mereka
Pertemuan kita bohong!
Kita semua tidak gila
Tapi robot

Guluk-Guluk, 31 Januari 2010

Lelaki Angka Angka

Lelaki itu
yang meniupkan rindu
di sela sela bantal malam malamku
Lelaki itu
yang hadir
dengan sihir bermantra gigi putih
mampu membuatku mabuk dalam mimpi
hingga dejavu di negeri nyata
Lelaki itu
yang mengajariku berjalan
dari bukit
menuju surau tempat kekal kami
bersemayam
Lelaki itu
adalah guru
namun ia tak bisa menerjemah puisi
sebab di tangan kirinya hanya angka angka

Guluk-Guluk, 5 Januari 2010

Bakti Mata Carang

Kelahiran tanah pelosok kampung Bungduwa’ Sumenep Madura. Tulisannya telah terbit di berbagai media baik nasional maupun lokal. Alumnus PP al-Huda dan MA NASA Gapura Timur Sumenep. Saat ini masih terus aktif menulis karya fiksi di tanah kelahirannya. Mengasuh sanggar 7 Kejora, Kobung, Bengkel Sastra. Sajak-sajaknya terkumpul dalam antologi bersama yang perdana “Narasi Sebatang Rindu” Sakhera Pangabesen, 2010.


Biografi Sajak Rembang

Sajakku luruh ke dasar gelap
di lentang musim tahajjud mawar
menaruh akar pada gerai rambut perawan
Baca!
satu kata memenjara ribuan hati purnama
sajakku
hilang tajam beling
tersusun dalam bening
padam
bersama sepincuk adzan
yang menghibur lukalukanya sendiri
dalam kerjap mata muhammad
tulis!
Satu huruf menusuk lakon
seperti pecah jarum menjahti kenangan
setelah perpisahan

Sumenep, 280709

Perasaan yang Tertinggal di Pangkal Rambutmu
;Gusti elvia


Hati dirambah kakimu dengan perjalanan harum kumkuman
tumpah dari dua mata bulan yang menukar kilau
pada kesakralan malam lebaran
paku mata Yusuf, rembang menimang surat-surat cinta
memacak bidak sejarah ke beranda kebohongan Zulaikha
setelah melambang senyap tanah mesir di atas payudara
; Hanya dalam cinta
tubuh laut melebihi semesta

Sumenep, 310709


Belacu

pada belacu
hati tembok tua menyimpan murung
seluas minat ujung sabit melenyapkan gugus mata
lampu
di kamar tak berkelambu
(kematian menawarkan jenisnya yang lebih toleran
tanpa ketakutan, tanpa kehilangan, tanpa pesakitan
hingga menjadi pilihan bagi mereka yang tak pernah
bercinta menemui cantiknya dunia di ujung jalan)
pada belacu
asbak ata kukus
menyerap
maqom tembok tua
jadi juang yang terbang

Sumenep, 2009

Ibu

hanya ia
langit merendah di garam laut
meminjam asin untuk lidah hujan
yang menjilat peta di luar
bismilla
Sumenep, 250809
Di Muka Cermin
Hamzah takdzim
menancap
pada lambung trotoar
;……dan rumahrumah
kembali pada ajal

2009


Kembang Sujud

tuhan jatuh di lengkung garis hujan
dan guntur yang menampar-nampar runcing bulan
telah sampai dalam
jabat tangan
“lama tak mengenal-Mu yang Esa
selain kisut bayang membenam dalam kolam”
lubuk debu semu membisu di pias suram
biji istighfar
seperti gaib-Mu selalu kutanyakan
pada jalanjalan
yang enggan membuat batas
di keangkuhan zaman
Bungdua’2009
Menjelang Subuh
kujelang subuh, dingin sepi masih sebilah keris
melukai pertapaanku di lubung terkhim
tiada harap kecuali jalan melengkung
dari puncak sarung mengapi korek api
dan daun kering
ibu mendengkur dalam lepuh bulan dalam plastik
seperti ayah menusukkan pakupaku ke tubuh jam
agar waktu tak menyuruh
kujelang subuh, seekor semut mengumpan kail
ke dasar kepalaku mungkin ikan kecil yang kau
selamkan telah bersisip salju berenang
mengunyah purnama di setiap kota
“Aina….?”
kilau bohlam pada bulubulu kucing yang tidur nyenyak
membuat dusun lain
menyuruhku hijrah dengan pagi yang lebih perawan
menundukkan lambai mawar
terambang teduh di mata pisau

2009