Laman

Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Madura

Minggu, 25 Desember 2011

Ali H Syahbana



Lahir 07 april 1993 di Desa kombang, kecamat an talango, kabupaten sumenep. siswa SMA yayasan abdullah (yas’a) jalan kartini V1/04 sumenep (69412) Madura.dan sekaligus nyantri di pon-pes MATHALI’UL ANWAR pangarangan sumenep. Karya karyanya sudah di muat dimajalah-majalah sekolah ,dan cerpen pertamanya “senyum surga dibalik kerudung bulan” yang dipublikasikan di majalah deblis. Dan pernah menjabat sebagai ketua redaksi majalah Deblis tahun 2009-2010. dan juga aktif di beberapa organisasi terutama organisasi IKSMAT (ikatan santri mathali’ul anwar talango) .

Celurit Fajar
Untuk: D.Zawawi Imron
Celurit itu berlogika
Ku genggam dari bukit gelora
Menyimpan nafas fajar
Menghanyutkan cahaya
Ke dasar gelombang jiwa
Menumbuhkan biji
Jadi batang

Sebilah matahari di tangan kananku
Menaklukkan seribu dzikir rerumputan
Yang bermain-main di mata fajarku

Dan.......
Dan waktu yang berlabuh
Terikat di tangan kiriku
Lalu ku bentangkan celurit fajar
Kutikam ulu hatinya
;Sekejam rajam
Melelehkan darah dari puncak nyawa

Celuritku terbang
Menunggangi cahaya malam


Biarkan Aku Belajar Mencintai Puisi

Jika ku maknai secarik pena di atas kertas
Seperti desah gelisah ombak melukis pantai
Aku akan belajar mencintainya
Aku akan belajar melabuhinya
Dan berhenti mengartikannya

Aku akan belajar menyetubuhinya
Dan berhenti melupakannya
Aku akan belajar merayunya berdansa
Dalam waktu yang terluka
Dan dikala bahagia
Aku akan selalu setia
Dan tak setia bosan padanya

Biarkan aku belajar mencintai puisi.....!!!!!
Dan jika waktu mengijinkanku mengecup bintang
Aku kan bernyanyi bersama pantai
Dan akan ku tanyakan padanya
Tentang mencintai dari sebuah arti puisi
Yang saat ini masih kucumbui.....


Dzikir Rindu

Gemuruh pantai itu
Menyisahkan kasihmu padaku
Dan ikan-ikan selalu mengkhawatirkanku
Tentang rindu lupakan aku

Jika kau tanya tentang cerita laut
Kujawab,namamu yang seindah gelombang
Jika kau tanya tentang lukisan pelangi
Hanya nyanyian namamu tiap detak jantungku

Daun-daun itu.........
Selalu menari bersama nyanyian salamku padamu

;jika kau tanya dzikirku
Dzikirku tentang kerinduan
Dan jika kau tanya tentang pengalaman hidupku
Pengalaman hidupku tentang kerinduan

;Pandanglah di langit malam
Kerinduan menggantung mekar sepenuh jiwaku
Dan pandanglah masjid di mataku
Terlanturkan dzikir,dzikir kerinduan


Diakhir Nafasku
Buat: M

Seuntai ranting melati
Merongrong rongga dada
Diakhir amplop cinta
Setetes darah menjelma malam yang kelam
Tuk membuktikan kalender cinta
Merengkuh wajah senja
Selembut embun
Adalah Adinda

Diakhir nafasku,
Sudihkah engkau menari bersamaku
Mendendangkan lagu dan tarian asmara
Tuk menikmati senyum “surga” kita
Agar asaku tak lagi rapuh........

Dinda .....
Belailah aku dengan selendang birumu
Karena hatiku tersesat di samudramu
Yang terdapat dimaknai tetesan air mata

Jumat, 11 November 2011

Zainul Muttaqien


Zainul Muttaqien Lelaki kelahiran Kampung Garincang, Batang-Batang Laok, Batang-Batang Sumenep Madura 18 Nopember 1991, Ia seorang Mahasiswa Bahasa Inggris STAIN Pamekasan Madura. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura, pernah bergiat di Komunitas teater sanggar Andalas Ponpes Annuqayah dan pernah diundang mengikuti Liburan Sastra Pesantren (Berlibur, Berkarya, Bersastra) se-Indonesia oleh Matapena bekerjasama dengan penerbit Lkis di Yogyakarta dan beberapa penulis terkemuka di Indonesia (Yogya, 9-12 Juli 2008)
Beberapa karyanya berupa Artikel, Gagasan, Essay, Cerpen dan Puisi dimuat di beberapa Media seperti; Majalah Kuntum (Jogjakarta,) Majalah Almadina(Surabaya) Joglo Semar, Banjar Masin Post, Merapi, Radar Madura (Jawa Pos Group), Jawa Pos,
Karya-karyanya juga masuk dalam beberapa Antologi bersama seperti; Kaliopak Menari (Antologi Puisi dan Cerpen, Matapena: Jogjakarta, 2008) Wanita yang Membawa Kupu-Kupu (Antologi Puisi dan Cerpen, Dewan Kesenian Sumenep: Juni 2008) dan salah satu cerpennya (Perempuan yang Melukai) masuk sebagai Pemenang Karya Favorit Tingkat Nasional LMCR 2011 yang diadakan Rohto Mentholatum Golden Awards


Fragmen Air Mata

Engkau selalu datang dengan sisa gerimis di wajahmu
Mengabarkan sepi yang perih dengan suara-suara sumbang
Sebentar langit mengisakkan tangismu
Menjadi musim-musim kemarau di tanah-tanah

Matamu merekah sayu meminang kenagan letusan tertumpah
Luruh yang mendendangkn sayup di paras luka
Kini beribu luka mendesah nyeri meradang dimatamu
Memanggil masa silam dari impian yang terluka
Serta dahaga di matamu masih mengabarkan air mata
Tersungkurnya kisah-kisah dalam rekaman
Menderu di matamu

Sampai waktu menghabiskan sisa usia
Engkau datang dengan mata mengalir

Yogyakarta. Agustus 2009



Aku Berlari ke Matamu

Seperti malam-malam yang mendesirkan angin
Dan setelah itu hujan runtuh melalui derit-derit pintu di rumahmu
Jendela-jendela itu perlahan merapatkan sepi
Aku berlari ke matamu dari sisa jalanan peristiwa yang ngeri perih nyeri
Seperti tidur dengan mimpi-mimpi peluru mengerang tangis
Setelah terbangun kembali kematamu aku berlari
Diantara desakan-desakan hujan malam itu
Berlari ke matamu sampai surga lahir disana sebagai rumah

Aku mengupacarakan keabadian hidup di matamu
Seolah hari-hari yang kemarin memudar ke udara dalam kisah
Sebab terakhir pelarian ke matamu
Terlahir senyum
Mak sesudah setiap peristiwa nganga nanar mengalir jerit
Aku terus berlari ke matamu

Di matamu aku berlari

Yogyakarta Agustus 2009


Tayyuban
:kawan-kawan teater Sanggar Andalas(Annuqayah)

Aku datang dari hlir tasbih dalam dzkirmu
Semerbak aroma kuusapkan di halaman matamu
Menebar rindu dalam persembahan sujud

Disini kita mendendangkan kenangan
Merangkai matahari dalam senyum

Dan kita terus bernyanyi sebagai kekasih
Yang mengalun dalam gendang tayyuban itu
Dianatara penari-penari mesra

Annuqayah, Guluk-guluk. Sumenep 4 Februari 2008

Selasa, 02 Agustus 2011

Khatim Maulina

Khatim Maulina lahir di Kerta Barat Dasuk Sumenep Madura April 1991, Alumnus PP.Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura, karya-karya berupa Puisi, Cerpen dimuat di beberapa Media seperti ;Majalah Almadina( Suarabaya) Radar Madura dan beberapa media lainnya
Sekarang aktif di berbagai Komuniatas Sastra, pernah mengikuti Liburan Sastra Pesantren yang diadakan oleh Matapena Yogyakarta, cerpenya masuk dalam Antologi bersama ; Kaliopak Menari (Matapena, 2008)



Jerit Rindu


Rintihan rindu di ujung keresahan
Membasahi danau gairah pada kedalaman rasa
Dan sampaikan salam kekasih
Pada tiap deru tasbih para malaikat

Diantara sajadah yang menangis
Mengenang kekasih dalam setiap sujud
Suara yang sekarat
Memanggil namamu pada langit

Rindu itu menjerit dalam setiap malamku

Sumenep 05 Januari 2011


Gelisah November

Getar jiwa menusuk batin kekasih
Kembali menoreh luka kegelisahan
November kenangan dalam gelisah

Senantiasa aku haturkan asmara abadi
Padamu kekasih
Tenatng sepucuk rasa yang tak lekang oleh waktu

Sumenep 09 Januari 2011


Tentang Kekasih
Kala gerimis di sudut kegelisahan
Aku meraung namamu
Sebuah keabadian dari masa silam
yang tak lekang oleh detak jantung

burung-burungpun mengabarkan angin kasmaran
dari ujung pelangi sore
dan disana aku bersabda
tentang kekasih “ kekasih adalah yang dekat ketika dunia sepi”

Sumenep 02 januari 2011

Rabu, 29 Juni 2011

Rusydi Zamzami


Lahir di Kampung Pang-panggung, Dusun Kombung Barat, Desa Ellak Daya, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep, 09 Juni 1989, Madura, Jawa Timur. Alumni Mts Bustanul Ulum Ellak Daya tahun 2005 dan SMA Annuqayah Guluk-guluk tahun 2008. Sekarang sedang nyantri di PP. Annuqayah daerah Latee sekaligus mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-guluk Fakultas Syari'ah Jurusan Mu’amalah. Menulis puisi, cerpen, esei, opini, gagasan, resensi, dll. Karya-karyanya dimuat di media lokal dan nasional. Seperti, Kompas (Anak), Jawa Pos (Gagasan), Radar Madura (Jawa Pos Group), Annida (Online & Cetak), SituSeni (Online), Ummi, Sidogiri, Kuntum, Keren Beken, Fajar, Hijrah, Isabella, Al-Kaun, dll. Antologi puisi bersama kawan-kawan; Rumah Seribu Pintu (RSB, 2008), Annuqayah dalam Puisi 2008—bersama D. Zawawi Imron, M. Faizi, Maftuhah Jakfar, Bernando J. Sujibto, dlsb—(BPA, 2008), Manuskrip Pertama 2009 (BPA, 2009), Tinta Kehidupan (TIRTA, 2010), Risalah yang Membumi (COTOT, 2011), Safar (RSB, 2011), Getir Maut yang Memburu—bersama dua teman: Aidi Audaria dan Khalil Tirta AngGara—(Rumah Kata Press, 2011), dan Suara-suara Rakyat Kecil—bersama Naning Pranoto, Ahmad Nurullah, Uki Bayu Sedjati, Aant S. Kawisar, Remmy Novaris DM, Sides Sudyarto DS, Shinta Miranda, Heru Emka, dlsb—(Rayakultura, 2011). Bergabung di komunitas sastra Bengkel Puisi Annuqayah (BPA) dan Rumah Sastra Bersama (RSB), Guluk-guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Beralamat: PP. Annuqayah Latee, Al-Bukhari No. 21, Jl. Makam Pahlawan, Guluk-guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur 69463. Phone. (0328) 821366, Faks. (0328) 821155. E-mail: rusydizamzami@gmail.com

HUJAN DAN PUING-PUING KOTA
:Syahdaka Musyfiq Abdaka

masih setiakah kau menafsir hujan
ke dalam kata-kata yang disusun
dari puing-puing kota
dan pernahkah seseduh angan saja
kau mengingat sajak kecil
—yang kuanggit dari sisa mimpi
dan perih luka ayah-ibu
memanjakan ladang-ladang
dengan keringat dan do’a-do’a
siang-malam—
yang beberapa waktu lalu
dilarikan api entah kemana

sementara manusia-manusia tetap saja
sebagai suara-suara
yang terus menghujat tuhan:
kau, yang katanya tuhan!
mengapa kau letuskan rumah-rumah
dan tubuh-tubuh
tak adakah ulah yang lain
ataukah telah bosan
sehingga mengacau otak kami
dengan hal-hal di luar batas kemampuan
seperti angin mengacak daun-daun
kapan pun ia mau
maka, mulai saat ini

kucerai dan kulepas kau dari tubuh kami
sebab kami sudah tak lagi butuh kau
sebab kami sudah tak lagi butuh tuhan
sebab kami ingin bebas
dan akan kami bangun kembali
puing-puing kota ini
menjadi kota yang lebih damai dan asri
—tentunya tanpa kau: tuhan
dan segala aturan

duh, kau dengarkah suara-suara itu
semakin hari semakin mengejutkan
dan menggetirkan maut
yang berteduh di bawah pohon
satu-satunya
yang masih tersisa di jantung kota
dan semoga saja kau tetap setia
menafsir hujan ke dalam kata-kata
yang disusun dari puing-puing kota
lalu kuamini kau sebagai penyair
yang tak hirau pada logika

Guluk-guluk: Februari, 7~2011.


KAMU
:roihatul hasanah

aku selalu ditipu waktu
mengingat kamu
jatuh ke dalam labirin mimpi
yang menggelapkan batin
maka kuliarkan khayalku
menyunting matamu
biar kunang-kunang
yang kerap menyangkutkan diri
di situ
tak lagi mengapungkan rembulan
dan pindah
jadi bingkai mayatku

Guluk-guluk: Januari, 14~2011.



PENGAKUAN
dari yang—katanya—kafir

kau ganggu tidurku
dengan tetes darah
yang memantul di bantal
kau balut tubuhku
dengan cuaca gaib
yang merenggut
khayal
ya, ya
aku memang telah menceraikanmu
sejak dua putaran musim yang lalu
dan kau sendiri sudah tahu
bahwa alur langkahku
adalah jalan takdir
yang kau restui sebagai lawan sekutu

Guluk-guluk: Januari, 20~2011.


HIJAU
:jasadku

kau balut jantungku
dengan warna tuak
dan daging pelacur
kau letuskan kata-kata
hingga matamu menyala
dan terbakar:
semasih hijau dan basah, menarilah
wah, tidakkah kau rasakan
di samping rumahmu
daun-daun gagar
sebelum bau melati
menyentuhnya

Guluk-guluk: Januari, 21~2011.


MENJEMPUT MUSIM DAUN

untuk mejemput kedatangan musim daun
telah kusiapkan segala yang menjadikan betah:
tanah yang luka di halaman
kubasuh dengan airmata
dinding yang berlumut di gedung
kuhapus dengan darah
pohon yang retak di samping rumah
kutambal dengan daging
wah, betapa seluruhku
sebentar lagi patah-patah
mengalirkan langkah-langkah

Guluk-guluk: Januari, 24~2011.

Selasa, 10 Mei 2011

Rasyiqi


Rasyiqi Lahir di sumenep 13-12-1994 Tinggal di sumenep 69472 madura,jln raya batang-batang dasa gapura timur dik-kodik gapura hp; 087850086764 . Pendidikan MAN sumenep jalan. Kh agussalim no:19 pangarangan dan kini masih bersetatus sebagai siswa MAN. Pernah mengabdi di sanggar 7 kejora dan sekarang mengabdi di teater Diam MAN sumenep serta makhluq penghuni komunitas Rumah Senja. Menulis karya di majalah Sap@neka, Madaniyah dan beberapa buletin lokal lainnya serta menulis karya untuk dirinya sendiri sebegai penikmatan seni. Pernah mendapat juara II lomba menulis cerpen se-kabupaten Sumenep dan lomba cipta puisi spontan jura I dan II di sekolahnya serta juara III lomba teater se-madura bersama kawan-kawannya di pamekasan

Dalam tanya

Dalam tanya
Bulan dan dalam pandangannya terjaga
Tahajjud kantuk
Kuajak bersunyidari tatapan jalan
malam itu_
ketika sampah klamin bergelantungan
di mesjid, begitu matamu
mengobarkan air mata orang-orang
malam itu_
28-04-11


Kota
; dalam panggangan matahari

Kota yang tak mendengar azan di kumandangkan dari masjid yang di tampar kebisingan. Dari mesjid ke telinga para wanita jelata di sebelah mata kota yang buta. Tukang becak mengayuh harapan berkeliling kota yang di panggang matahari seperti legam leleki jelata dalam pelukan nasib di pundaknya. Begitu saja mulai dulu!! kota tuli kota buta ada yang gembira pada lelaki dan wanita-wanita yang beserakan serupa patung-patung, pepohonan dan tembok di taman kota


susuri sumenep

hijau.pasang.warna-warni
gersang garam-garam.lampu dan
listrik asslamualaikum pada
orang-orang lalu-lalang

29-04-11

Rabu, 04 Mei 2011

A`YAT KHALILI



Bernama asli Khalili. Lahir di kampung Telentean desa Longos, Gapura, Sumenep, 10 Juli 1990. menyelesaikan pendidikan dasarnya di desanya sendiri (MI Taufiqurrahman, sementara SMP-nya ia habiskan di Yayasan Abdullah( YAS`A) Pangarangan, Sumenep.Ia selain menulis puisi, juga cerpen, esai, dan naskah kebudayaan agama. pada tahun 2006; memenangkan juara ke-2 lomba cipta puisi remaja tingkat nasional dalam rangka Bulan Bahasa & Sastra di Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, Jakarta 2006; memenangkan juara 1 lomba penulisan sastra tingkat remaja Jawa Timur, di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya 2006; memenangkan juara 1 sayembara penulisan sastra tingkat remaja Jawa Timur, di Teater Kedok SMAN 6 Surabaya 2007; memenangkan juara 2 lomba penulisan puisi religius tingkat mahasiswa se-Indonesia yang diadakan oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (Purwokerto, 2010); nomine lomba cipta puisi Forum Tinta Dakwah (FTD) Forum Lingkar Pena (FLP) Riau, 2010; nomine lomba menulis puisi bertajuk “ Batu Bedil Award 2010” yang diadakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus, dalam rangka Festival Teluk Semaka (FTS) 2010; juara ke-1 lomba cipta puisi “ Give Spirit For Indonesia 2011” , Januari 2011; dan finalis lomba Cipta Cerpen Tingkat Mahasiswa se-Indonesia di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto 2011 ini. Ia juga mengikuti undangan Liburan Sastra Pesantren (Berlibur, Berkarya, Bersastra) bersama Penerbit LKiS dan komunitas Matapena, Jogja 2008. karya-karyanya yang sudah terbit;Akhir Sebuah Jalan (2006) Rumah Seribu Pintu (2007. Ia juga salah satu pendiri Rumah Sastra Bersama dan penggerak Bengkel Puisi Annuqayah.
Beralamat: Jl. Makam Pahlawan, PP. Annuqayah, Daerah Latee, Rayon Al-Bukhari 23, Guluk-guluk, Sumenep Madura Jawa Timur 69463.


Di Purwokerto

Hujan menyusut ke malam, hanya hitam
Dan putih. Kilat yang menggelombang
Dari sunyi, berpijar berat di wajahmu
Yang menahan gigil. Butir demi butir
Menemani perjalananku ke kota ini

09/Maret/10-10/April/11.


Malam Kaba

Menyusuri jalan penuh simpang, namamu jatuh
Dari kerangka puisi. Semburat cahaya tertangkap
Menikam kedipan mata, sebelum bingkai fajar
Sejenak perjalanan lahir...

10 April 2011, Lancaran.


Pagi Di Sabalao

Hanya sebuah jejak dan gerimis yang menenggelamkan
Suaranya ke percikan tanah yang terkubur keriput cuaca
Dan wajah petani.

10 april 2011, Latee.


Gerhana

Matamu yang sesibak, melahirkan para pezirah
Ke pelataran, dengan mata berkilat-kilat. Kutemui kau
Di ujung gerhana, serupa penjaga malam
Dan bayangan fana

11 april 2011, Latee.

Minggu, 01 Mei 2011

SYAIFUL RAHMAN



Lahir Sumenep, 14 Agustus 1995.
Pendidikan sekarang MAN Sumenep, jln. KH. Agussalim no.19 Pangarangan Sumenep Madura 69412. Dan sekarang tinggal di dsn. Sedung ds. Batangbatang daya Rt: 02/Rw: 05 Batangbatang Sumenep 69473. Hp. 087 850 097 548. Karya-karyanya termuat di buletin-buletin sekolah dan pernah juara ke-2 pada lomba cipta puisi se-Kecamatan Batangbatang.


TRAGEDI DI PERSIMPANGAN JALAN

Aku adalah ibu dari anak-anak yang selalu merindukan kebenaran
Mereka berjang, karena makna lebih berharga daripada nyawa
Walau di persimpangan waktu mayat-mayat bergelimpangan

Setiap ku acungkan senjata
Mereka rubuh menahan mantra
Menggigilkan nafas-nafas membara

Di stasiun-stasiun senja, ku tunggu gelap
Dengan penyerahan habis-habisan

Dengan tulang berbalut darah
Ku gerayangi malam!

Karena aku adalah ibu dari anak-anakku.

(29/03/2011)


TENTANG MALAM

Ada gelap menuruni tangga-tangga hatiku
menciptakan kemesraan dan ilham yang ranum
Sesekali lagu-lagu malam pun membsingkan persetubuhan ini.
Ah, para penyair masih saja iseng mencari kata-kata,
dan melukis malam jadi airmata.
Padahal setiap kali ku kecup kening malam
khalwat-khalwat beterbangan
dan kematian adalah kenikmatan luar biasa.

Selama percumbuan ini belum selesai
tengoklah rumahmuyang penuh airmata,
kamar-kamar yang sarat mahkota,
dapur-dapur yang penuh makanan ala kota,
ranjang-ranjang yang sarat tuna susila.
Kemudian tengoklah di pelataran
ada pusara merindukanmu.

Ah, ternyata aku mencari kata-kata jua!

(19/04/2011)


190411

Tiba-tiba gagak mengirim kabar
Tentang akhir pertemuan diantara kesibukan berebut nilai.
“kesedihan hanya gap pertemuan dan perpisahan”
Sedang keranda tetap terbang bersama doa airmata.
Rentetan-rentetan asma-Nya
Membanjiri awal persetubuhan malam
Membimbingnya menuju altarTuhan
Untuk penyerahan dan penyaksian dengusnya sendiri.

(23/04/2011)


Minggu, 17 April 2011

Zaka Khairiz Zaman




Zaka Khairiz Zaman, lahir di Jaddung Pragaan Sumenep Madura. Bernama asli Muhammad Khairuddin. Mulai bergiat di bidang kesenian sejak duduk di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Selain menulis puisi dia juga gemar menulis cerpen dan esai. Karya-karyanya yang pernah terpublikasikan, tergabung dalam: Antologi Bersama Saksi Mata Saksi 3 (Saksi, 2008) Taman Kita Bernama Langit (Taman Langit, 2009) Air Mata Air (Air, 2010) Lelaki Penunggu Malam (Koma, 2010) Balairung Sajak Mata (GSK, 2011) serta Antologi Tunggal; Kiblat Purnama, Dokumen Pembaiatan dan Nyanyian Pagi (2010). Memperoleh Juara Harapan I Lomba Baca Puisi Umum Tingkat Kabupaten yang di adakan OSIS MTs Hidayatul Ulum (Bulu Pragaan Daya) 2009, Juara I Lomba Cipta Puisi, dalam rangka Pekan Maulidiyah OSIS MA Tahfidh Annuqayah (Guluk-Guluk) 2010, Juara Harapan III Lomba Cipta Puisi Umum Se-2 Kabupaten [Sumenep-Pamekasan] OSIS Putra PP. Agung Damar (Telaga Pakamban Daja) 2011. Tercatat sebagai salah satu sisw MA Tahfidh Annuqayah. Sekarang menetap di bumi Annuqayah daerah Lat


MENYAUH MIMPI

Di lorong ini
Aku pandang bintang gemintang dari lentera
Pada sudut-sudut yang gelap
Dengan sebait puisi
Sesekali malam menjelang
Menyauh mimpi di lautan yang mendung
Menorehkan ruang dari sebait sajakku senja ini

Di lorong ini
Aku hendak berlayar
Mengisahkan setiap prasasti yang gelap di altar kata-kata
Mengeja segala bahasa rindu
Pada angin kemarau musim depan

Stasiun yang mengantarku pada senja
Menanam usia seekor camar yang bermain harpa
Dan menuturkan setetes luka
Tentang mimpi-mimpi yang sulit aku tafsir

Dan, "kemudian"
Bahasa yang memanggul segala resah
Tak dapat kulayari dengan kapal-kapal tongkang
Melalui ringkasan abjad
Sebab kembara yang sesat mengisi setiap ruang
Dalam kisah roman kita malam ini

Luk-guluk, Mei 2010


DOA RINDU
; Ummi

Di petang ini
Kau tanya aku: berapa jumlah bintang di langit
Tapi aku hanya diam sambil kuhadapkan aku
Pada matamu yang penuh rindu
Lalu, kau panggil musim luka
Dengan airmata yang menjelma karang

Kau masih tanya aku
Tentang kabut yang tumbuh di ujung jemariku
Lalu, kujawab dengan lantunan puisi
Serupa pedang abrahah yang terhunus
Kala sunyi menjelang

Pada petang kali ini_
Mataku menjadi danau
Tempat para harem mandi dengan gula-gula surga
; pada resah tertahan, aku menggumam
"berartikah aku di hadapanmu?"

Luk-guluk, Mei 2010


KETIKA AKU MEMBACA PETA DI DINDING MATAMU

Aku mendayung sampan kedasar hatimu
Melabuhkan segala roman dan paradoks
Hingga puncak rantau di dinding matamu

Di dekat biara
Fajar berkabut dan jalanan basah ketika senyummu terurai
Menanti kidung melati memainkan tembang bersama nyanyian pagi
Dari gemiricik daun pala
Aku masih mendalami hutan ketika kau melukis sebait puisi
Dengan ujung jemarimu sambil bermain harpa hingga zenith

Semusim sudah aku memanggul luka
Yang menidurkanku dengan kealpaan
Sebab tak jua kutemukan jawaban
Tentang angka-angka yang kau titip di sore itu
Lantaran aku tak sempat mengeja gerimismu yang miris kelabu

Aku mendayung sampan kedasar hatimu
Berharap di dermagamu kutemukan senja
Seperti sebuah karang di dinding matamu
Yang karam meninggalkan sunyi

Annuqayah, Juli 2010


MEMAHAMI HUJAN
: Sahabatku: Moh. Ali Wafa

Mengingat satu demu satu kisah pertemuan abad silam
Pun merangkai seberkas narasi tak berbekas
Tentang burung camar yang biasa memanggilmu dengan kalimat rindu
Kau tak mungkin merangkai kata-kata
Kecuali kau datang dalam panggilannya siang ini

Fa! Aku tahu, kabut dimatamu
Mengajarkanku kembali pada samudra yang kelabu
Ketika kutemukan bintang temaram disudut hatimu
Aku coba merangkulmu pada permulaan abad pertama
Menampung segala resah diruang senja
Tersebab jalan yang kau tuju tak selamanya merangkai fabel

Fa! Biarlah kini kupulas semi menjadi gugur
Menyelimuti kegundahan hatimu kala mengingatnya
Yang begitu riang mendayung nasib
Menjelma lentera bak matahari yang mengahangatkan dunia
Sebab kita tahu semua hanyalah harapan

MATA, Oktober 2010

Minggu, 13 Maret 2011

Masduri,



Lahir di Jadung Dungek Sumenep pada 16 Rabi’ul Awal 1412 H bertepatan dengan 25 September 1991 M. Suka menulis Puisi, Cerpen, Artikel dan Resensi. Beberapa tulisannya sudah tersebar diberbagai media, baik lokal maupun Nasional. Semasa kecil ia menamatkan pendidikan dasarnya di MI Tarbiyatul Muta’allimin Jadung, dan melanjutkan di MTS & MA Nasy’atul Muta’allilmin Gapura. Disamping belajar di pendidikan formal, ia juga menetap di PP. Nasy’atul Muta’allimin (NASA) selama enam tahun. Di PP. NASA bersama sahabat-sahabatnya ia mendirikan komunitas EDENSOR, sebagai media pembelajaran berdiskusi dan menulis. Sekarang sedang menempuh S1 di IAIN Sunan Ampel Surabaya jurusan Akidah dan Filsafat, sambil nyantri di PP. Luhur Al-Husna Surabaya. Ia aktif di bergagai organisasi salah satunya, Bengkel Penulis PP. Luhur Al-Husna, IKMAS, dan PB. IKON. Cerpen dan puisinya terbukukan dalam Antologi “Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan” 2010. Blog pribadi www.masduri.wordpress.com dan E-mail: masduri_as@yahoo.co.id


Nek, Mimpi Itu!


Nek, batu-batu yang aku
susun dari keringat masa lalu
dewasa dengan air matamu
membentuk lingkaran bola
tanpa jedah titik koma
bergulir seiring nafas
melantunkan lagu-lagu legenda
para pujangga

Nek, keriput tubuhmu
mengikatku dengan seulas tali
yang aku panjangkan sebagai jalan pulang
untuk aku titi di persimpangan waktu

Nek, dari uratmu
gairah mimpi tumbuh kembali
subur bersama wejangan
yang kau tanam di sanubari

Nek, aku kembali mengingat
saat kau mengajariku kata-kata
mengeja rangkak hidup
yang berjalan dari warisan leluhur

Nek, darimu sumbu damar
tak pernah redup
selalu ceria melukis aksara mimpi

Nek, mimpi itu
telah beku menjadi baja
tak surut pantang kembali
biarlah ia keras dalam hati
aku akan belajar dari senyummu
yang tak lelah memanjat takdir

Nek, bila aku pulang
dengan panen melimpah
aku ingin mengajakmu berlibur
menyusuri purnama berparas mawar
biar engkau tahu luasnya jagat bumi
serta layar mimpi dapat mengalir ke rumah tempat aku dilahirkan

Nek, kau muara tempatku mandi
membersihkan kegelisahan ruang hati
semoga aku dapat mengembalikan
keringat dan air matamu
meski tidak sederas terjun

Jadung, 19 Februari 2011


Ibu, Mimpi Itu!

Aku lahir dari senyummu
Di pelataran senja
Sebagai purnama menyambut pekat asap
Kugulung tikar-tikar sepi
Terang bercumbu bersama tawa
Menertidurkanku dalam pelukan mesra
Aku telah satu dalam hati dan jiwamu
Karena aku lahir dari makanan
Yang kau lahap ibu
Sebagai pengganjal meluruskan
Bambu-bambu pagar rumah

Kini aku telah dewasa
Mulai menaiki keterjalan bukit
Bersama krikil-krikil kugarap
Gapura depan
Pintu gerbang aku pulang
Tempa kau menyusui baliaku

Air mata dan keringat yang membesarkanku
Telah matang mengaduk dalam bejana
Rindu masa depan yang lahir dari mimpi

Ibu, Mimpi itu
Telah ratusan abad menjelma jadi puisi
Saking aku belum sempat belajar mengartikan
Kata-kata tanpa tubuh dan baju
Karena terlalu dini
Jasadku mengumpulkan darah dan sumsum
Mulai hari ini
Kuikrarkan hidupku jadi mimpi
Dan mimpi adalah jasadku
Untukmu ibu

Aku lahir dari mimipi
Dan kembali kepangkuanmu
Dengan menebus mimpi
Yang aku gadaikan pada
Pada bukit-bukit air mata

Jadung, 21 Februari 2011


Bapak, Mimpi Itu!

Derap kakimu
Selalu mengusik kesendirianku
Tak letih membajak nasib
Meski tanah-tanah liat
Membentuk batu tajam
Mengungkung dalam tangis siwalan
Kadang-kadang pula air laut
Mengasinkan tubuh dan bajumu
Demi seulas senyum dari keluarga

Bapak, urat-urat tubuhmu
Mengekar menebas batang-batang duri
Di pesimpangan jalan
Tempat nasib dipertaruhkan
Keringat yang menetas jadi senyum
Membakar nyali anakmu
Untuk tegar melampaui
Gelombang laut dan angin badai
Di sana telah kupetakan jalan
Jelajah ruang-ruang angkasa
Biar aku bisa belajar dari gigihmu
Tak tidur sepanjang petang
Mengais rezeki dari keringat laut

Bapak, mimpi itu!
Lahir dari senyummu
Yang kau lukiskan pada tubuhku
Saat anakmu masih dini
Melontarkan kata-kata lewat daun sirih
Aku dewasa karena cinta kasihmu
Tabi’at nurai sang pahlawan
Tak harap pulang kembali

Bapak, aku tak akan beranjak
Sebelum semuanya
Benar-benar rampung dihadapan
Mimpi itu adalah adukan keringat
tangis, dan senyummu

Jadung, 23 Februari 2011

Senin, 07 Maret 2011

D.Zawawi Imron



(Batang-Batang - Madura)

Dikenal sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1982), Tahun itu terbit kumpulan sajaknya “Bulan Tertusuk Lalang” (Balai Pustaka). 1987, “Nenek Moyangku Airmata” dapat hadiah Yayasan Buku Utama. “Celurit Emas” dan “Nenek Moyangku Airmata” (1990) terpilih buku terbaik Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Penyair tinggal di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Zawawi banyak berceramah Agama sekaligus membacakan sajaknya, di Yogyakarta, ITS. Surakarta, UNHAS Makasar, IKIP Malang dan Balai Sidang Senayan Jakarta
Juara pertama nulis puisi di AN-teve (1955). Pembicara Seminar Majlis Bahasa Brunai Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majlis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai Darussalam (Maret 2002).
Kumpulan-kumpulan sajak “Derap-derap Tasbih”, “Berlayar di pamor Badik”, “Lautmu Tak Habis Gelbis Gelombang”, “Bantalku Ombak Selimutku Angin”, “Madura Akulah Darahmu”.
Salah satu puisinya :

Ibu

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunpun gugur bersama reranting
hanya mata air airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sarisari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang meyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu


Di Sebuah Tikungan

Di sebuah tikungan aku bertemu seseorang, sambil
menyebutkan namanya yang tak mungkin kuhapal
ia mengulurkan tangan
Tapi tangan kananku sedang kutinggalkan di rumah
menepuk-nepuk paha anakku yang hendak tidur,
terpaksa kuulurkan tangan kiriku
Orang itu marah, seketika tangannya berubah menjadi
cakar harimau, dengan kuku-kukunya yang tajam
bersiap untuk menerkam
Aku lari. Begitu ia mengejarku dan mengejarku, untunglah
segera kutemukan tempat aman dalam kidung
yang disenandungkan ibuku setiap larut malam

1978


Pesona Itu Melompat

pesona itu melompat
dari pematang ke pematang
(seperti kupu-kupu yang ditangkap
anak di taman
menabur serbuk-serbuk sanubari)
laut melambai
ketenteraman

-siapakah engkau ?-
tanya roh kepada badan
badan pun lalu menari
sedang roh memukul gendang
sekaligus melagukan nyanyian

pesona itu melompat
dan terus melompat
melumat-lumat kenyataan

1978

Minggu, 27 Februari 2011

F. Rizal ALief


F. Rizal ALief adalah nama pena dari Faidi Rizal, lahir di Sumenep ’87 kemarin. Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jur. B.S.A. fak. ADAB dan Ilmu Budaya. Tulisannya termuat dalam media massa dan sejumlah antologi. Seperti Kitab Lintas Musim (Puisi, 2011) Bulan Purnama Majapahit Mojokerto (Cerpen, 2010), Bukan Perempuan (cerpen 2010), Rendezvous di Tepi Serayu (cerpen, 2010), dan Narasi Batang Rindu (Puisi, 20009)
Kini aktif dan mengelola Komunitas Rumah Senja di Madura.

Celurit Sunyi

Roh-roh bergelantungan di matamu saat kau tak mampu membaca sejarah
Kelahiranku
Lalu harus berhenti di bagian paling ujung mataku yang gelap itu

Ah. Kau tak mengerti qodratku-
Gelap bukan berarti sudah tertutup dari segala yang hidup dan harus terus menyusup

Ia adalah sebuah pintu yang terletak di antara denyut nadimu dan tepi mataku
Dimana kau tak akan lagi menemukan gaung kematian dalam liuk lekuk
Tubuhku
Yang menjelma sungai darah dan berkali-kali mengutukmu jadi pembunuh

Bacalah setiap kata yang terlahir dan tumbuh dari
Gugur daun jati ketika pohonnya tetap rapi menyimpan pertemuan langit dan
Bumi
Angin dan hujan
Matahari dan bulan

Namun sepekan sekali kau tetap harus memandikanku dengan lulur seribu
Kembang dan mantra-mantra tua itu
Agar semerbak tanah kelahiran tak akan pernah jadi pekuburan

(Yogya, 2011)


Sajak Tanah Garam


Bila kau membaca sajakku buatlah terlebih dahulu sebuah perahu dan
berlayarlah ke pulau seberang
Kau akan menemukan matahari sedang menyulam ayun ombak
Berlesatan ke langit melebihi kecepatan doa dan mantramu

Perahumu akan berhenti dan menepi, di dermaga dalam dadaku yang
Sunyi.

Akulah laki-laki Madura yang akan kau lihat di mulut pantai itu
sedang menatap pulau sebrang
dan matahari menuruni matamu yang sepi.

Angin dan gemuruhnya
Memburu mimpi yang berlari jauh ke dalam jiwamu
Sebelum malam
Darah mengalir menjelma waktu dan menghentikan langkah matahari

Kau akan menemukanku di sini,
Ya, di sini

Yogya, 2011


Tentang Kampung Kita

Kau kabarkan padaku tentang kampung kita yang nyaris berlalu dari masa lalu
Lalu kulihat matamu
; ada yang berbeda memang, mulai tanah muasal, tetumbuhan yang akarnya
Semakin sulit menemukan letak detak jantungmu, rumah-rumah
Dan pakaian-pakaian yang lucu
O, ya
Bahasamu itu benar-benar terlahir di luar kata-kata yang kucipta

Akhirnya, kumulai menyimpan segala yang tersisa dalam sajakku. Kubiarkan
ia seperti matahari

Agar nanti, ketika kau kabarkan kembali tentang sebuah kehilangan
Aku tetap menemukan keutuhan

Yogya, 2011


Seperti Pohon Kelapa

Seperti menanam pohon kelapa kau butuh waktu yang sangat panjang untuk
Memetik buah dariku
Sebab saat ini, akar-akarku masih menjalar, mencari sumber mata air
Mencari kehangatan yang tersimpan di balik kata-kata

Ah. Kau tak perlu mencemaskanku seperti itu
Bukankah aku adalah pohon yang tumbuh di atas tanah kesakitan dekat sungai
Pembuangan sampah
Setiap perih telah kuterjemahkan menjadi bait-bait kalimat
Lalu kuletakkan di mataku, kaku menjadi buah-buah kecil

Kelak, saat buah-buahku merunduk
Akan kubiarkan ia kering lalu terjatuh dan akan tumbuh jadi pohon baru

Terus seperti itu…..

Yogya, 2011


Di Kampung Banaressep

Kau mengajakku keluar rumah
Berjalan di antara petak sawah dan kakibukit yang terus mengalirkan
Bait-bait puisi layaknya pancuran air

Bunyi gemericikpun mengarak kita pada masa lalu yang mungkin
Telah menjelma lumpur sawah dan sering kita abaikan
Padahal semestinya
Kita sudah pandai menanam padi, menanaknya menjadi nasi, menjadi
Kata-kata yang tak pernah basi

Sesekali kita mesti melupakan percakapan alun-alun kota. Sebab sajak
Yang terpendam itu
Kelak akan kita panen bersama orang-orang kampong
Lalu
Memakannya bersama

Yogya, 2011


Serupa Perahu

Serupa perahu yang mengantarkan Nuh menyebrangi kematian kata-kata
Aku pun melayarkanmu dalam tubuhku
Singgahlah di dermaga-dermaga tua dan sepi. Carikan untukku matahari
Atau rembulan yang telah lama menyendiri setelah melahirkanku
Waktu itu
Bila di tengah pelayaran kau bertemu ombak besar, tak perlu menjerit
Ketakutan
Cukup kau berbisik, sebut namaku, tiuplah ke mataku
Ia akan menjelma butiran-butiran kristal dalam kelopak

Serupa perahu Nuh di atas bukit Judi, kau pun akan berhenti di sini
Menemukanku sedang membuat perahu

dalam kelopak

Serupa perahu Nuh di atas bukit Judi, kau pun akan berhenti di sini
Menemukanku sedang membuat perahu

Yogya, 2011

Senin, 31 Januari 2011

Moh. Nurul Kamil


Moh. Nurul Kamil, lahir di Batang-batang, Sumenep 05 Juni 1991. Alumnus TMI AL-AMIEN PRENDUAN, hingga sekarang aktif di berbagai komunitas sastra. Antara lain: Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) cabang Sumenep, Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Al-Amien dan Forum Bahasa dan Sastra Indonesia (FBSI). Periode (2009-2010), mantan ketua Sanggar Sastra Al-Amien (SSA) Prenduan ini, menjadi redaktur Majalah Qalam Suplemen Khazanah. Beberapa kali memenangkan perlombaan; Juara II Lomba Menulis Puisi Kandungan Al-Quran (PORSENI: 2008) Al-Amien Prenduan, Juara harapan III Lomba Cipta Puisi Remaja (Pusat Bahasa: 2010) dan Juara I Lomba Menulis Puisi Inspiratif (FLP UM: 2010) Malang. Karya-karyanya berupa puisi dipublikasikan di media cetak atau online seperti Radar Madura (Jawa Pos Group), Majalah Qalam Suplemen Khazanah, Buletin SASTERA, Horison/Kakilangit, Buletin SEMBAHYANG, penulis muda.com, www.mohnurulkamil.blogspot.com. Puisi-puisinya juga dimuat dalam bunga rampai: Akar Jejak (Antologi puisi penyair Al-Amien: SSA: 2010), dan ESTAFET (Ukhuah Publishing: 2010). Sedangkan kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah, Pemabuk (SSA: 2010). Untuk forum silaturrahmi di, kamil_poetra@yahoo.com atau di Websit: www.mohnurulkamil.blogspot.com

CATATAN KENANGAN

: Warda

magrib jatuh ke dada kita bagai gerimis, tapi tak menyebabkan basah.
di sini, dalam remang yang tak selesai menjalin kisah dengan kesucian bulan
kita duduk bersandingan di atas kursi tua.

dua tiga patah kata kita lepaskan menjaring doa pada setiap kelepak anak jalanan
yang berlari berputar di trotoar samping gajayana
hingga tak ada luka yang tersisa atau halaman kenangan dimabuk dilema.
sesekali kita bertukar senyuman, entah untuk apa
hanya mata-mata kita yang jujur menyampaikan suratan rahasia.

aku malu bagaimana harus melepaskan kelenjar ini,
karena aroma kenangan masih kau hirup dengan bakti sejati.

permpuanku, maka tidak salah jika
kau masih saja bertanya tentang kebenaran. ya, kebenaran hakiki
kau masih saja bertanya tentang kesendirian. ya, kesendirian abadi
karena metafora sejarah tidak mudah kita lepaskan begitu saja pada arus waktu.

membuka kembali semua catatan ini, terasa ada gema suara berbisik
bahwa kita mesti bergegas menentukan pelabuhan terakhir
sebelum malam larut diterkam waktu atau diabadikan sunyi

Madura, 3 Nopember 2010


LAGU MATAHARI RABU SIANG

betapa indah lagu matahari rabu siang,
ketika dzikir rerumputan memberi salam pada kupu-kupu yang bersandar di ranting dan batang-batang.
bunga-bunga mekar, setelah bertahun mengabadikan dirinya dalam diam.
dalam serpihan sunyi yang dalam oleh cerita kenangan
perempuanku, ada enam cerita angin muson ingin kusampaikan padamu
lewat surat rahasia atau suara muadzin serta proklamasi kemerdekaan suatu negeri
hingga perbedaan bahasa dan budaya tak menjadi persoalan nyata
seperti petani dengan penyanyi, penyair dengan pejudi

sesaat sebelum lagu selesai kunyanyikan, sebelum sempurna menjadi sulaiman
bernyanyi dengan burung bercinta dengan rumputan.
ada bisik kecil angin sakal dari timur membawa kabar rindu kampung halaman.
percakapan indah, tembang sederhana serta agama sempurna
ketika kertas-kertas rahasia melipat dirinya dalam asmara kasih yang dalam,
atau mimpiku kunang-kunang mengecup keningmu dalam sembahyang.
perempuanku, dalam koridor petani padi, tembakau dan kembang seruni
kau selalu ada di sisi. menatap cemas gemericik mata air langit yang tumpah di ranting.
dengan bayangan ikhlas tanpa harap balas, segala yang kuucap kaucecap dalam senyum tuntas.
bagiku mungkin ini sebuah mukjizat atau ilham atau hidayah.
ke mana mesti kutunjuk arah, mencatat persoalan sejarah.
tentang negeri luka dan bangsa berairmata.
karena pancasila hanya menjadi ideologi dusta para pecinta kedamaian
karena cinta menjadi gombal dalam kacamata pemimpi kebahagiaan.
atau tentang takdir yang tak bisa diterjemahkan dalam bahasa lisan.

kebodohan mungkin sesuatu yang bijaksana dalam menentukan takdir
ketika malam-malam lewat di mataku tanpa gemerlap bintang-gemintang
gelap bersandar pada dinding hati yang suram.
aku menatap ke langit kemudian ke hutan. mengingat wajahmu kesekian kali, menghafal namamu hingga tak ada bimbang.
tapi kebodohan terlalu bijaksana menentukan takdir
lukisan kaligrafi di hati terpaksa harus terlukai
kita harus kembali pada fitrah matahari pagi hari
saat petani berkenalan dengan pelangi, saat penyair belajar menulis puisi.
ada sesuatu yang tak bisa kita pahami, berupa baiat ataupun sepi dalam kalimat.

matahari rabu siang adalah sekumpul persoalan masalalu yang terbuka
pintu-pintu tersingkap bijaksana, di dalamnya sekumpulan laron berterbangan nisbi menembangkan lagu sepi kesekian kali
aku menatap ke seluruh penjuru mata angin, mencoba berpaling dari bayang-bayang yang menari dalam cermin
luka kembali bersimbah darah, isyarat nurani dengan pasrah
serupa palestina dan afganistan, peluru-peluru terkapar menancapkan permintaan
lalu aku dibawa ke sebuah ruangan gelap, yang tak mampu kuhitung berapa banyak kursinya. sebuah bioskop, gudang atau sesuatu lain yang tak kuketahui.
di sini rekaman sejarah diputar kembali, dengan ketidakmengertian atau kepasrahan
karena akan ada tetes airmata berjatuhan. dengan tergesa kuambil sapu tangan biru harum parfummu yang dulu.
dan percakapan tak selesai suatu malam, ketika bahasa manis kita rasakan
berlari di ladang mengejar capung-capung terbang
bila lelah kita tersungkur di sebuah tepi bawah kelapa rindang.
bagai layang-layang kita banggakan saat menari ragu bersama kelepak angin di langit menembus awan tebal.
kita saling bersalaman dan sesekali berpelukan bagai seniman melepaskan kasihnya pada istri tercinta.
kisah yang tak ingin kusaksikan lagi, karena luka akan meneteskan darah hingga rindu penghabisan

perempuanku, jalan menikung di seberang kampung. tempat anak-anak menikah di bawah umur dan balada percintaan burung yang terhempas,
termangu dalam dekapan sunyi yang agung. pernah rasanya kita mencatat elegi indah pada pokok cemara,
tentang rindu yang menyatu, tentang keindahan kekupu menebar senyum haru.
tapi perputaran sejarah tak pernah lelah melepaskan segala berita pada masalalu.
hingga cerita cinta telah habis episode. sesaat setelah orang-orang ramai di jalanan mempertimbangkan keadilan serta kemanusiaan yang ditelanjangi. sesaat setelah para demonstran memperjuangkan hak asasi. dengan harga diri di tangan kanan, iri benci di kiri. sesaat setelah aku termangu, menatapmu tumbuh mekar bukan di pelataran rumahku.
mungkin inilah percakapan tak selesai suatu malam, ketika bahasa manis dirasakan. tak ingin kusapa kembali ketika malam datang menatapku rindang.

maka kubiarkan rindu menafsirkan lagu matahari rabu siang, dalam kata atau sepasang mata yang luka.

Juni 2010


LEDAKAN PANGGUNG

sudah kukatakan padamu
aku bukan penyair,
bukan penyanyi,
bukan penari.

hingga untuk baca puisi yang kutulis aku lupa larik
salah tafsir, hilang rima dalam deklamasi

hingga untuk bernyanyi aku bosan irama
lugu bahasa, ragu dalam suara.

hingga untuk menari aku gagap gerak,
lupa putaran, bingung loncatan.

tapi mengapa masih kau beri aku
ledakan panggung malam pertama?

Pacenan, 2010

SEPATAH KATA

: Warda

sepatah kata sebelum gerimis tiba di penghujung senja hari ini,
simpanlah di saku bajumu
bisa kau baca kapan saja kau mau
ketika di matamu aku sungkan mengetuk pintu.

karena kesendirian tak bisa mengubah keadaan
menjadi seberkas pernyataan rindu yang terpendam.
karena kesepian sudah melepasku dalam dilema musim
sepanjang waktu.
karena kesunyian salah menafsirkan keinginan dan hasratku yang dalam.

sepatah kata sebelum kedalaman rinduku sempurna,
pecah menjadi kalam bayang-bayang
bisikkanlah pada setiap desis doamu yang tulus
ikhlas penuh harap cemas kesekian.
karena penantian berkepanjangan di altar tak berpintu
sudah cukup mengenalkanku dengan kecutnya pertanyaan.
karena darimu aku ingin sesuatu lain
selain bisikan kecil dengan bayang-bayang yang berhenti mengucap
takbir dan tarhim.

”sempatkan aku bertamu di berandamu sebelum senja benar-benar pilu
meninggalkan sisa sepi di penghujung hari”

Al-Amien, 24 September 2010

NEGERI HIJAU

: Warda

kubayangkan kau duduk disini,
menceritakan keindahan kota yang kau jumpai di masalalu
kota jiwa penuh kenangan-kenangan beludru
tempat dimana kau melepaskan lelah sebelum akhirnya menyerah
tempat dimana kau bernyanyi menyambut musim bunga berguguran

aku mungkin salah karena takut arah matamu kembali berhijrah
ketakutan yang melebihi lepasnya matahari kali ini
aku mungkin salah karena takut semboyan yang kutitipkan
di ramadhan ini kau buang seketika atau kau kembalikan padaku
dengan sepatah kata airmata.
lebih dari sekedar takutnya penyair kehilangan kata dalam karya.

lalu aku ingin bernyanyi dalam kesendirian,
meski tak ada hujan atau angin yang menabuh gendang
meski hanya bayang-bayang mengintip di balik jedela
sambil berbisik nisbi membawa kabarmu yang malu diungkapkan.
sebuah tembang kenangan episode hari silam
penuh pertanyaan-pertanyaan di tembok hitam
negri hijau tempat kita bertemu saling mengungkap rahasia.

Al-Amien, 26 September 2010

M. Maniro AF


M. Maniro AF bernama asli “MOH JUNAIDI” lahir di Sumenep pada tanggal 12 Agustus 1994 (New Brouk City “Pasongsongan”). Pendidikan dasarnya ditempuh di MI Annajah Pasongsongan. Pada tahun 2007 melanjutkan studinya di MTs 1 Annuqayah Putra, sekaligus merubah predikat dirinya menjadi seorang santri, santri PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep tepatnya di daerah Latee. Dan saat ini dia masih tercatat sebagai siswa MA. Tahfidh Annuqayah angkatan 2010. Aktif di Teater SaKsI Annuqayah, Teater Sarung MA. Tahfidh Annuqayah, komunitas RuBah (Ruang Bahasa)dan Gubuk Sastra Kita (GSK) MA. Tahfidh Annuqayah. E-mail : maniro_af@yahoo.com . maniro.af@gmail.com


ZIARAHKU DALAM SUJUD

Kurasakan dingin
menebas ke seluruh ruang do’aku
sepasang khayal,
terlintas merabahkan usapan bergelora
aku bungkam,
tercekam dalam titik tengah-tengah takdir

Sesekali ruang pikiranku kelam
terhampar dalam tabir-tabir sujudku
aku musnah. nada-nada dzikir mulai menghujani luas hamparan pijakku
lantaran di antara pekik rintihku,
kerikil-kerikil dosa mengapung pada goresan sabda

Sekarang dengan bisikan takbir aku mencoba
merenungi alunan silam masa usiaku yang hampa
tersedu akan selah-selah rinai jiwa
sedangkan aku tahu aliran masa sudah jauh
menghilang dalam pelukan sejarah
akankah aku pasrah,
sepasrah Muhammad dalam sujudnya
yang setiap kali dalam gema sujudnya lantunan tasbih terukir indah
pada puing-puing firdaus.

12 2010

HANYA TINGGAL SKETSA LAZUARI
: Vicka Camelin

Seperti jejakmu
lahir,
dentingan hasrat tanpa wajah
mencengkram di setiap dimensi pelaminan
di mana waktu berlalu tanpa keguguran

Kau terpuruk
pada tebing-tebing persaksian abadi
memecahkan sunyi
dalam gulatan pecahan partikel asmara
yang kadang mengajakmu bergurau
melampaui dermaga keresahan
hingga kini kau diam
tak terkata.
membelenggu dalam ayunan sketsa lazuari
dan mencari yang tak perlu dicari
mungkin, pikirmu hanya derit daunan
padahal. gerimis pun ikut merahasiakannya

12 2010


KABAR KEMATIAN IBUMU
-Safitri

Kabar itu,
mencekam
di setiap sudut.asap putih layu
melambai-lambai
menyapa embun gersang
di setiap deru nafasmu

Keranda putih
sudah menghampar
di ambang pintu
sekejap asamu bercerai
terpatri dalam gemuruh angin dupa.
gelap mewarnai hitungan debu
kala ibumu pulang
entah kemana
Seruan manis tak terdengar lagi
hanya membius
dalam lengkungan tanah

Sudahlah, jangan kau rubah harimu
pada gemersik malam-malam
satukan lagi asamu
lukislah harinya di sana dengan indah dalam lintas do’amu

12 2010

SABDA KERTAS PUTIH

Satu tahun silam. kertas putih
berbingakai sutera
menelanku pada setiap risau burung malam
dia datang tanpa aku minta

Kertas putih berbingakai sutera
tertulis pada bulan september 2009
melelehkan sabda-sabda kasih sayang para pecinta
seperti halnya laila dan majnun

Sekarang di perantauan
arus nadiku, terasa sunyi, gersang
dalam hitungan waktu
menunggu hujan reda

Imajiku pupus
haruskah pada buih rerumputan yang menari-nari. aku titipkan
khikayat sepiku

Atau nantinya mereka tidak mau
aku takut, aku tergoncang
resahku berbaris pada setiap haluan

Atau mungkin akan aku simpan saja
dalam gelembung-gelembung ludah para penyair tempo dulu
yang setiap sajaknya mengandung gema dalam persaksian zaman.

Warnet, 12 2010

SAJAK UNTUK IBU

Setiap fenomena yang mewaktu
risalah kita, menembus cakrawala
tidak ada musim silam terluka
berlalu tanpa arah
tetapi, dengan jiwa yang tenang
aku masih ingin duduk di ranjang tuamu
mendengarkan dongeng-dongeng tak berkesudahan
dan pada akhirnya, jika aku mati
aku masih belum kenyang disisir oleh cintamu
maka betapa besar sesal abadiku nanti

Latee, 20 12 2010

SHALAT DI PANGKUAN-MU

Bismillahirrahmanirrahiem
Allahuakbar,
kumulai takbir
bergemuruh talbiah kebesaranmu
mengecup
puing-puing sendi
di seberang trotoar
fatihahku

Allahuakbar,
menunduk dalam ruku’
seakan aku patuh
seperti tunduk
ruku’ku

Allahu akbar
ku larut dalam i’tidal;
berdiri tegak. semisal alif-mu
pada tebing-tebing kebesaran-mu

Allahu akbar,
dua perkara sujudku
basah di atas sajadah keheningan
risau riuh angin berlalu mengiringi jelmaan tasbih-mu
aku tak kuasa menghitung
debu hitam
di padang gersang hidupku. sedu melelahkan semua yang ada

Sebelum salam pun
terasa rentetan butir dan biji –biji do’a
mengalung pada ruangku yang sesak
ku lafadzkan, semua yang bisa ku lafadzkan
ku dzikirkan, semua yang bisa kudzikirkan
ku serukan, semua yang bisa kuserukan
hingga aku lelah dan pecah
tanpa terlukis bayanganku

Dan akhirnya
ku akhiri sahlatku
di pangkuan-Mu. dengan dua lembar halaman salam

Warnet, 23 12 2010 (Revisi)

TIGA AYAT UNTUK IBU

Ayat satu :
Ibu adalah dunia
sebelum kita melihat dunia

Ingatkah,
dulu kita pernah membaca berbaris-baris puisi
di ruang rahim ibu

Ayat dua :
Ibu adalah bias senyum mentari
yang berhasil menerjemah harfiah kehidupan
petang maupun terang,
ia sinari dengan tangan gerhana kasih sayang

Petuah dan dongeng
yang selalu lahir dari lengkungan bibirnya
pernahkah kita memahaminya

Ayat tiga :
Ibu adalah kasidah rindu
yang selalu bergema
dan menyelusup pada setiap ingatan

Hingga kini dia tetap menyatu
pada setiap jiwa
yang tak pernah kosong dengan bermacam rasa air susunya
yang dituangkan lewat dekapan
namun dengan manja dan nakalnya saja


PP.Annuqayah Latee, 26-27 12 2010