Laman

Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Madura

Senin, 29 Desember 2008

GUGU' MANCANEGARA


Lahir di Gapura Timur Sumenep Madura, 24 Januari 1986. Mulai belajar menulis sejak duduk dibangku MTs pada usianya yang ke 12. cinta telah membuatnya gila dan merubah dirinya menjadi tinta, akhirnya hampir separuh hidupnya dia baktikan pada sepi dan kata-kata. Selain menulis puisi, sebenarnya dia juga gemar menulis cerpen. Puisi-puisinya juga termuat dalam bentuk antologi rahasia, yaitu; Rahasia Tunggal (July, 2001), 74 Puisi Untuk Cinta (April, 2003), Tafsir Kebisuan Juz I-II (Agustus, 2004) Dan Game of Love level 1-15 (Februari, 2005).

Di kampungnya Pangabasan dia mengelola Sanggar Talpak Tanah dan Perkumpulan Sakera. Terakhir dia juga dikenal sebagai pengasuh Bengkel Sastra Gapura. Saat ini tinggal di Gapura Timur. Email: G_mancanegara@yahoo.com

Episode Selanjutnya

Yang tersisa dari perjalanan
Malam direbahkan begitu saja
Tanpa bulan dan tilam
Seperti wajahku malam ini
Rindu-rindu memanggil
Tercipta suara sirene kekejauhan
Tempat diputuskannya sendi-sendi
Dan…terkulainya gairah-gairah
Malam yang sempurna menjadi sepi
Menjalin bayang-bayang putih
Seperti rasa takut
Dan mimpi tentang segumpal awan
Adalah ilusi pertama
Orang-orang berpencar menebang pohon
Menggali rahasia dibalik rencana-rencana
Mengukur ketinggian laut
Dan kedalaman gunung
Yang tersisa dari perjalanan
Siang hari selipkan tanpa matahari
Diantara ribuan langkah
Yang tak sempat menyentuh bumi.

Epilog Rindu

Pada bait pertama, sudah
Tertulis ribuan penyesalan
Tentang kesetiaan yang terabaikan
Itulah ruang kesejatian
Tempat bermula desah kerinduan
Tak terhitung berapa banyak tetes darah tercecer
Dari luka pinta yang tak menuai jawaban
Hidup hanya menghembuskan separuh nafas
Kabut-kabut datang menawarkan kematian
Di sini………….
Sejarah fir'aun seperti tak sengaja terulang
Melintas begitu saja
Mengingat-ingat menisnya anggur
Dimusim kemarau
Ini kisah terakhir yang bisa di dengar
Dari seorang musafir yang tiada kabar berkibar
Pergi tanpa buntalan rindu
Dibuang lalu dicarinya.

Senin, 17 November 2008

A.Faruqi Munif




A. Faruqi Munif lahir di Gapura Timur Gapura Sumenep, 02 Juli 1994. Bergiat di bidang kesenian sejak ada di bangku Sekolah Dasar. Tulisan-tulisannya yang berupa puisi dan cerpen di muat di Radar Madura (Jawa Pos group) dan Majalah Qolbun. Saat ini aktif di berbagai komunitas sastra seperti Perkumpulan Sakera, Teater Talpak Tanah dan Sanggar CTL (Club Teater Lubangsa) Pamor. Puisi-puisinya juga terangkum dalam antologi bersama; Narasi Btang Rindu(2008) dan Biografi Kerinduan (2007). Email: faruqi_munif@yahoo.com dan qq.chika@gmail.com. Tinggal di Gapura Sumenep Madura.

Cemas

Dari penghiantan pertama
terbitlah bulan menjadi gumpalan malam penuh darah di laci almari
kaca berdenting menggumamkan gelap di tubuhmu
sunyi yang nisbi. Sepi
malaikat menyaru ke dalam kabut mengikuti jejak kaki
waktu dalam lipatan rindu berlumut abu-abu
: jejak yang retak kini berubah menjadi halimun di wajah pucatmu
Luka yang tumbuh belukar dalam sangkur tipis antara kematian dan tangis
Sunyi menjelma peta di mata ibu yang diam. Parfum yang kau letakkan di sudut reruang penuh darah
menjejali setiap kalimat dalam teks-teks basah di meja dapur yang patah
Kemudian mimpi di pagi hari menjadi ilusi tipu dan rayu
menumbuhi setiap langkah dalam bungkus snack dan
sketsa yang cemas dalam peta menuju surga. cinta-cinta-cin-ta-ci-n-ta.


Kamar Mandi

Pada setiap tubuh yang berderak menantang matahari dalam satu rindu yang tak menemui usai. Sepi yang menemu mimpi dalam satu titik kecemasan yang tak sudah. Aku masih menggalakkan segala kekuatan yang seruncing bulan tepat ke tubuhmu. Hingga waktu yang nurani memuncratkan sepi hingga ke dalam malam yang buih di dua samudera berbeda.
Aku meredam tunggu. Menggemuruh tubuhku menjadi segumpal madu dan sebotol susu. Menyusun alamat yang hilang semenjak kepergian hawa menemu adam di dalam reruang yang tertutup dedaun sebatang pisang yang menundukkan wajahnya saat aku singkap matahari di dadanya.
Aku tak mengerti. Jelaskan sekali lagi, sayang. ––tuhan mengintai dari balik jendela. Semacam melodrama luka di ganggam kotamu yang lengang menyumpahi bulan. Malam ini bumi seresah langit yang menanggung bermacam dosa segala penghianatan.
Aku mengukir kecemasan dalam kotak shampo. Kamar mandi yang kini ditinggal air berarak seperti angin menumpahkan hujan dalam cuaca murung fajarmu. Januari ––bulan mati di sisi cahaya yang runtuh seketika. Api membara di kepala orang-orang yang melintasi dimensi mimpi tidur para bocah bajang di dalam tobong yang kehilangan isi.
Habislah petulangan ini. Di makan ulat-ulat di wajahmu yang kisut. Dalam sunyi yang menunggu di sepanjang kamar mandi.