Laman

Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Madura

Selasa, 02 Februari 2010

Abd. Rahem Umar


Abd. Rahem Umar. Lahir di Sumenep – Madura. Alumni PP. Terate – Pandian Sumenep dan STKIP – PGRI Sumenep, Jurusan Pendidikan Matematika. Salah-satu Puisinya terkumpul dalam 142 Penyair Nusantara Menju Bulan (Arsyad Indradi) Kini aktif sebagai Pengurus Bidang Musik dan Teater LESBUMI Sumenep dan Pemembina Teater Becek SMKN I Sumenep


Hikayat Hangat Tubuhmu
Untuk Anakku Agung

Selamat datang di dunia, Anakku
Dunia para pendahulumu
Jangan menjerit karna kau merasa asing
Kelak kau juga pasti merasakan asin

Mulailah kau menerjang tangan Ibumu
Saat kau nikmati puting susu
Sepi matamu adalah isyarat bisu
Lantaran bumi ini tidak lagi biru

Mulailah menggaris tanganmu, Anakku
Dengan lengking tangis malam
Belajarlah berkedip
Dengan alis matamu yang sedikit

Sedebupun jangan diam.
Sumenep, 07012010


Parjuga

Angen ngalemba’ nonggal seppe e ate
Anteng barenteng asapo’ daun jate
Jembar-jumambar sokma laju ngarte
Marga babbar asareng tera’ bulan pote

Taronduk pekker aleng-leng e bumi Guste
Ce’ kaburuna adantos laggu’ are ngabubur
Cellep socana akadi bintang
Asre ropana potra rato
Parjuga gulina masamporna dhadha

Liya lites
Kembang kates
Bulan noccer

Sumenep, 11012010


Refleksi Hujan

Sepertinya matahari esok akan menggerhana di pelupuk mataku
Gelap berabad-abad sudah haripun begitu
Tak pernah paham
Tinggal catatan kecil yang robek melepuh
Dalam tong sampah dan bunyi sexaphone
Otakku terus berputar bersama gerhananya senja
Palem dan akasia yang tak sia-sia
Menyederhanakan cintaku
Cintaku yang sederhana
Menziarahi bunga rambosa bahkan kalimat-kalimat buram
Merekah di antara helai-helai rambutmu yang kepirangan

Pahamilah cintaku
Seperti kau memahami dirimu sendiri

Sumenep, 161205


Rindu

Kuntum mawar merekah pada tangkai malam
Selalu sajikan tawa yang tak bertuan
Ingin rasanya mendekap peluh penuh sungguh
Bunyi merayap dipertiga malam yang selalu kelam
Tarian rasa menyiput beringsut susut
Jadi lara
Lantaran rindu tiada tara

Gersik 06062010


Pengakuan

Lelah dalam bimbang
Aku runduk menyeka nafas panjang
Meludahi kabut dengan mabukku pada tarian ilalang
Sebelum hujan hinggap dikeningmu yang lapang

Ada kegetiran terbungkus ciut
Aku malu disuguhi senyum seperti maut
Membingkai harap dengan sebekas raut
Padahal inilah tenung hati yang beranjak kusut

Memujimu, aku seperti menghina diri
Kulit dan darah bagai terkebiri
Lantaran hentakan nispa memadah jari-jari
Seujung kukupun tak ada yang sendiri

Jika saja kampungku kota
Maka sunyi akan kucipta
Derai-derai indah dalam kerudung
Hatiku bisu terkepung mendung


Yang pertama kuingat
Aku bergantung pada kerudung putih berkeringat
Lalu sehelai senyum terasa hangat
Dan aku merasa nikmat

Hiduplah, kerasanlah, rebahlah
Meski hatiku kau telanjangi takkan lelah

Sumenep, 25062010

Ir Mas Kanjeng Kelana


Ir Mas Kanjeng Kelana

Alumni Pondok Pesantren Sumber Payung Sumenep Madura. Pernah bergiat di Sanggar Tirta Ganding sekaligus pendiri Sanggar Kelana P.P Sumber Payung, Sanggar Asap P.P Sumber Payung, Selain itu juga inten di komunitas FKMM (Forum Kebangkitan Masyarakat Madura) dan masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dicelah wkt kuliahnya ia juga aktif di sanggar Nuun Jogja
E-mail: Jun_Irmaskanjeng@yahoo.co.id
Domisili di Komunitas Teater Celurit Hastina 191 Gk.I Jogjakarta
Hp.. 081913647077

Puisinya antara lain :

JAUH, KU GAPAI MAKNAMU
Qaf, Ha, Ya, ‘Ain, Shot Mu
Tak pernah meredam adamku.
Jogjakarta 2009

ODE MALAM PENGANTIN
Malam ini adalah malam pengantinku
Seribu malaikat dan bidadari bersayap pelangi
Terbang menari menhiasi kamar kecilku
Sementara aku duduk di sebuah singgasana
"akulah pangeran muda" gumamku
"sebentar lagi gadis itu akan menjelma wangi kasturi" malaikat-malaikat itu berbisik.
Setelah pesta selesai
Aku berjalan menuju kamar pengantin
Ranjang melati, semua berlapis melati
Gerakku kaku mengharap gadis itu muncul di balik pintu
Keringat dingin merayapi dinding sepi
Empat jam berlalu
Gadis itu tak jua menemuiku
Hampir saja aku menjerit
ketika ranjang melati itu berubah karanda mati dan baunya masih menyimpan nyeri
"melati itu telah hilang" gumamku lagi
gadisku… gadisku… gadisku…
ah…. Ternyata gadisku hayalanku.
Jogjakarta, selasa malam, 24


NIKMAT HIDUP SANG PUJANGGA
Aku berlari mencari hutan
Aku menari mencari Tuhan
Bermimpi menari-nari
Berlari mencari mimpi
Berlayar dengan biduk kecil
Bercerita di atas gelombang
adalah nikmat para pujangga
yang memerah spekulasi di lautan ilusi dengan puisi
terlelap di atas duri adalah majasi.

Jogjakarta, 2007