Laman

Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Madura

Senin, 17 November 2008

A.Faruqi Munif




A. Faruqi Munif lahir di Gapura Timur Gapura Sumenep, 02 Juli 1994. Bergiat di bidang kesenian sejak ada di bangku Sekolah Dasar. Tulisan-tulisannya yang berupa puisi dan cerpen di muat di Radar Madura (Jawa Pos group) dan Majalah Qolbun. Saat ini aktif di berbagai komunitas sastra seperti Perkumpulan Sakera, Teater Talpak Tanah dan Sanggar CTL (Club Teater Lubangsa) Pamor. Puisi-puisinya juga terangkum dalam antologi bersama; Narasi Btang Rindu(2008) dan Biografi Kerinduan (2007). Email: faruqi_munif@yahoo.com dan qq.chika@gmail.com. Tinggal di Gapura Sumenep Madura.

Cemas

Dari penghiantan pertama
terbitlah bulan menjadi gumpalan malam penuh darah di laci almari
kaca berdenting menggumamkan gelap di tubuhmu
sunyi yang nisbi. Sepi
malaikat menyaru ke dalam kabut mengikuti jejak kaki
waktu dalam lipatan rindu berlumut abu-abu
: jejak yang retak kini berubah menjadi halimun di wajah pucatmu
Luka yang tumbuh belukar dalam sangkur tipis antara kematian dan tangis
Sunyi menjelma peta di mata ibu yang diam. Parfum yang kau letakkan di sudut reruang penuh darah
menjejali setiap kalimat dalam teks-teks basah di meja dapur yang patah
Kemudian mimpi di pagi hari menjadi ilusi tipu dan rayu
menumbuhi setiap langkah dalam bungkus snack dan
sketsa yang cemas dalam peta menuju surga. cinta-cinta-cin-ta-ci-n-ta.


Kamar Mandi

Pada setiap tubuh yang berderak menantang matahari dalam satu rindu yang tak menemui usai. Sepi yang menemu mimpi dalam satu titik kecemasan yang tak sudah. Aku masih menggalakkan segala kekuatan yang seruncing bulan tepat ke tubuhmu. Hingga waktu yang nurani memuncratkan sepi hingga ke dalam malam yang buih di dua samudera berbeda.
Aku meredam tunggu. Menggemuruh tubuhku menjadi segumpal madu dan sebotol susu. Menyusun alamat yang hilang semenjak kepergian hawa menemu adam di dalam reruang yang tertutup dedaun sebatang pisang yang menundukkan wajahnya saat aku singkap matahari di dadanya.
Aku tak mengerti. Jelaskan sekali lagi, sayang. ––tuhan mengintai dari balik jendela. Semacam melodrama luka di ganggam kotamu yang lengang menyumpahi bulan. Malam ini bumi seresah langit yang menanggung bermacam dosa segala penghianatan.
Aku mengukir kecemasan dalam kotak shampo. Kamar mandi yang kini ditinggal air berarak seperti angin menumpahkan hujan dalam cuaca murung fajarmu. Januari ––bulan mati di sisi cahaya yang runtuh seketika. Api membara di kepala orang-orang yang melintasi dimensi mimpi tidur para bocah bajang di dalam tobong yang kehilangan isi.
Habislah petulangan ini. Di makan ulat-ulat di wajahmu yang kisut. Dalam sunyi yang menunggu di sepanjang kamar mandi.