Laman

Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Madura

Minggu, 17 April 2011

Zaka Khairiz Zaman




Zaka Khairiz Zaman, lahir di Jaddung Pragaan Sumenep Madura. Bernama asli Muhammad Khairuddin. Mulai bergiat di bidang kesenian sejak duduk di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Selain menulis puisi dia juga gemar menulis cerpen dan esai. Karya-karyanya yang pernah terpublikasikan, tergabung dalam: Antologi Bersama Saksi Mata Saksi 3 (Saksi, 2008) Taman Kita Bernama Langit (Taman Langit, 2009) Air Mata Air (Air, 2010) Lelaki Penunggu Malam (Koma, 2010) Balairung Sajak Mata (GSK, 2011) serta Antologi Tunggal; Kiblat Purnama, Dokumen Pembaiatan dan Nyanyian Pagi (2010). Memperoleh Juara Harapan I Lomba Baca Puisi Umum Tingkat Kabupaten yang di adakan OSIS MTs Hidayatul Ulum (Bulu Pragaan Daya) 2009, Juara I Lomba Cipta Puisi, dalam rangka Pekan Maulidiyah OSIS MA Tahfidh Annuqayah (Guluk-Guluk) 2010, Juara Harapan III Lomba Cipta Puisi Umum Se-2 Kabupaten [Sumenep-Pamekasan] OSIS Putra PP. Agung Damar (Telaga Pakamban Daja) 2011. Tercatat sebagai salah satu sisw MA Tahfidh Annuqayah. Sekarang menetap di bumi Annuqayah daerah Lat


MENYAUH MIMPI

Di lorong ini
Aku pandang bintang gemintang dari lentera
Pada sudut-sudut yang gelap
Dengan sebait puisi
Sesekali malam menjelang
Menyauh mimpi di lautan yang mendung
Menorehkan ruang dari sebait sajakku senja ini

Di lorong ini
Aku hendak berlayar
Mengisahkan setiap prasasti yang gelap di altar kata-kata
Mengeja segala bahasa rindu
Pada angin kemarau musim depan

Stasiun yang mengantarku pada senja
Menanam usia seekor camar yang bermain harpa
Dan menuturkan setetes luka
Tentang mimpi-mimpi yang sulit aku tafsir

Dan, "kemudian"
Bahasa yang memanggul segala resah
Tak dapat kulayari dengan kapal-kapal tongkang
Melalui ringkasan abjad
Sebab kembara yang sesat mengisi setiap ruang
Dalam kisah roman kita malam ini

Luk-guluk, Mei 2010


DOA RINDU
; Ummi

Di petang ini
Kau tanya aku: berapa jumlah bintang di langit
Tapi aku hanya diam sambil kuhadapkan aku
Pada matamu yang penuh rindu
Lalu, kau panggil musim luka
Dengan airmata yang menjelma karang

Kau masih tanya aku
Tentang kabut yang tumbuh di ujung jemariku
Lalu, kujawab dengan lantunan puisi
Serupa pedang abrahah yang terhunus
Kala sunyi menjelang

Pada petang kali ini_
Mataku menjadi danau
Tempat para harem mandi dengan gula-gula surga
; pada resah tertahan, aku menggumam
"berartikah aku di hadapanmu?"

Luk-guluk, Mei 2010


KETIKA AKU MEMBACA PETA DI DINDING MATAMU

Aku mendayung sampan kedasar hatimu
Melabuhkan segala roman dan paradoks
Hingga puncak rantau di dinding matamu

Di dekat biara
Fajar berkabut dan jalanan basah ketika senyummu terurai
Menanti kidung melati memainkan tembang bersama nyanyian pagi
Dari gemiricik daun pala
Aku masih mendalami hutan ketika kau melukis sebait puisi
Dengan ujung jemarimu sambil bermain harpa hingga zenith

Semusim sudah aku memanggul luka
Yang menidurkanku dengan kealpaan
Sebab tak jua kutemukan jawaban
Tentang angka-angka yang kau titip di sore itu
Lantaran aku tak sempat mengeja gerimismu yang miris kelabu

Aku mendayung sampan kedasar hatimu
Berharap di dermagamu kutemukan senja
Seperti sebuah karang di dinding matamu
Yang karam meninggalkan sunyi

Annuqayah, Juli 2010


MEMAHAMI HUJAN
: Sahabatku: Moh. Ali Wafa

Mengingat satu demu satu kisah pertemuan abad silam
Pun merangkai seberkas narasi tak berbekas
Tentang burung camar yang biasa memanggilmu dengan kalimat rindu
Kau tak mungkin merangkai kata-kata
Kecuali kau datang dalam panggilannya siang ini

Fa! Aku tahu, kabut dimatamu
Mengajarkanku kembali pada samudra yang kelabu
Ketika kutemukan bintang temaram disudut hatimu
Aku coba merangkulmu pada permulaan abad pertama
Menampung segala resah diruang senja
Tersebab jalan yang kau tuju tak selamanya merangkai fabel

Fa! Biarlah kini kupulas semi menjadi gugur
Menyelimuti kegundahan hatimu kala mengingatnya
Yang begitu riang mendayung nasib
Menjelma lentera bak matahari yang mengahangatkan dunia
Sebab kita tahu semua hanyalah harapan

MATA, Oktober 2010