Laman

Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Madura

Minggu, 27 Februari 2011

F. Rizal ALief


F. Rizal ALief adalah nama pena dari Faidi Rizal, lahir di Sumenep ’87 kemarin. Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jur. B.S.A. fak. ADAB dan Ilmu Budaya. Tulisannya termuat dalam media massa dan sejumlah antologi. Seperti Kitab Lintas Musim (Puisi, 2011) Bulan Purnama Majapahit Mojokerto (Cerpen, 2010), Bukan Perempuan (cerpen 2010), Rendezvous di Tepi Serayu (cerpen, 2010), dan Narasi Batang Rindu (Puisi, 20009)
Kini aktif dan mengelola Komunitas Rumah Senja di Madura.

Celurit Sunyi

Roh-roh bergelantungan di matamu saat kau tak mampu membaca sejarah
Kelahiranku
Lalu harus berhenti di bagian paling ujung mataku yang gelap itu

Ah. Kau tak mengerti qodratku-
Gelap bukan berarti sudah tertutup dari segala yang hidup dan harus terus menyusup

Ia adalah sebuah pintu yang terletak di antara denyut nadimu dan tepi mataku
Dimana kau tak akan lagi menemukan gaung kematian dalam liuk lekuk
Tubuhku
Yang menjelma sungai darah dan berkali-kali mengutukmu jadi pembunuh

Bacalah setiap kata yang terlahir dan tumbuh dari
Gugur daun jati ketika pohonnya tetap rapi menyimpan pertemuan langit dan
Bumi
Angin dan hujan
Matahari dan bulan

Namun sepekan sekali kau tetap harus memandikanku dengan lulur seribu
Kembang dan mantra-mantra tua itu
Agar semerbak tanah kelahiran tak akan pernah jadi pekuburan

(Yogya, 2011)


Sajak Tanah Garam


Bila kau membaca sajakku buatlah terlebih dahulu sebuah perahu dan
berlayarlah ke pulau seberang
Kau akan menemukan matahari sedang menyulam ayun ombak
Berlesatan ke langit melebihi kecepatan doa dan mantramu

Perahumu akan berhenti dan menepi, di dermaga dalam dadaku yang
Sunyi.

Akulah laki-laki Madura yang akan kau lihat di mulut pantai itu
sedang menatap pulau sebrang
dan matahari menuruni matamu yang sepi.

Angin dan gemuruhnya
Memburu mimpi yang berlari jauh ke dalam jiwamu
Sebelum malam
Darah mengalir menjelma waktu dan menghentikan langkah matahari

Kau akan menemukanku di sini,
Ya, di sini

Yogya, 2011


Tentang Kampung Kita

Kau kabarkan padaku tentang kampung kita yang nyaris berlalu dari masa lalu
Lalu kulihat matamu
; ada yang berbeda memang, mulai tanah muasal, tetumbuhan yang akarnya
Semakin sulit menemukan letak detak jantungmu, rumah-rumah
Dan pakaian-pakaian yang lucu
O, ya
Bahasamu itu benar-benar terlahir di luar kata-kata yang kucipta

Akhirnya, kumulai menyimpan segala yang tersisa dalam sajakku. Kubiarkan
ia seperti matahari

Agar nanti, ketika kau kabarkan kembali tentang sebuah kehilangan
Aku tetap menemukan keutuhan

Yogya, 2011


Seperti Pohon Kelapa

Seperti menanam pohon kelapa kau butuh waktu yang sangat panjang untuk
Memetik buah dariku
Sebab saat ini, akar-akarku masih menjalar, mencari sumber mata air
Mencari kehangatan yang tersimpan di balik kata-kata

Ah. Kau tak perlu mencemaskanku seperti itu
Bukankah aku adalah pohon yang tumbuh di atas tanah kesakitan dekat sungai
Pembuangan sampah
Setiap perih telah kuterjemahkan menjadi bait-bait kalimat
Lalu kuletakkan di mataku, kaku menjadi buah-buah kecil

Kelak, saat buah-buahku merunduk
Akan kubiarkan ia kering lalu terjatuh dan akan tumbuh jadi pohon baru

Terus seperti itu…..

Yogya, 2011


Di Kampung Banaressep

Kau mengajakku keluar rumah
Berjalan di antara petak sawah dan kakibukit yang terus mengalirkan
Bait-bait puisi layaknya pancuran air

Bunyi gemericikpun mengarak kita pada masa lalu yang mungkin
Telah menjelma lumpur sawah dan sering kita abaikan
Padahal semestinya
Kita sudah pandai menanam padi, menanaknya menjadi nasi, menjadi
Kata-kata yang tak pernah basi

Sesekali kita mesti melupakan percakapan alun-alun kota. Sebab sajak
Yang terpendam itu
Kelak akan kita panen bersama orang-orang kampong
Lalu
Memakannya bersama

Yogya, 2011


Serupa Perahu

Serupa perahu yang mengantarkan Nuh menyebrangi kematian kata-kata
Aku pun melayarkanmu dalam tubuhku
Singgahlah di dermaga-dermaga tua dan sepi. Carikan untukku matahari
Atau rembulan yang telah lama menyendiri setelah melahirkanku
Waktu itu
Bila di tengah pelayaran kau bertemu ombak besar, tak perlu menjerit
Ketakutan
Cukup kau berbisik, sebut namaku, tiuplah ke mataku
Ia akan menjelma butiran-butiran kristal dalam kelopak

Serupa perahu Nuh di atas bukit Judi, kau pun akan berhenti di sini
Menemukanku sedang membuat perahu

dalam kelopak

Serupa perahu Nuh di atas bukit Judi, kau pun akan berhenti di sini
Menemukanku sedang membuat perahu

Yogya, 2011