Laman

Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Madura

Jumat, 05 November 2010

Badrul Munir Chair


Badrul Munir Chair, lebih dikenal dengan nama pena Munajat Sunyi, Lahir di pesisir Ambunten (sebuah desa di pantai utara Sumenep-Madura), 1 Oktober 1990. Menulis cerpen dan puisi, karya-karyanya masuk dalam sejumlah Antologi bersama, diantaranya antologi cerpen Di Pematang Pandanaran (Matapena, 2009), Bukan Perempuan (Grafindo-Obsesi, 2010), dan beberapa antologi puisi, seperti Diorama (Antologi Penyair Tanpa Bilangan Kota) (Pondok Mas, 2009), Antologi Puisi Penyair Nusantara Musibah Gempa Padang (E Sastera, Kuala Lumpur 2010 ), kumpulan cerpen duetnya (bersama seorang teman) yang sudah terbit berjudul Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (FUY, 2009). Kini aktif bergiat di Masyarakat Bawah Pohon. Bisa dikunjungi di blognya: badrulmunirchair.blogspot.com.

Madura, Laut Dimana-mana

Madura, laut dimana-mana
ombak dan angin
rindu jadi gulana

di rumahku ada laut, hamparan pasir
serpihan kerikil, tripang dan kerang dari palung
seperti kepergianku semenjak kecil
pengembaraan tak ada ujung

halaman rumahku adalah laut
pohon nyiur, lambai daun yang gugur
buih-buih kenangan
menjelma badai dalam ingatan

di dadaku ada laut
tempatku mandi dan bersuci dari segala ihwal
kotoran-kotoran menepi
segala dengki padamlah
setiap kelahiran, pulanglah

Madura, laut dimana-mana
segala air adalah air mata
menetes hingga cakrawala
di ujung laut
segala rindu akan bermuara

Madura, laut
dimana
mana

(Juni 2010)


Kampung Lebak, Pantai Utara


Semerbak aroma kampung Lebak
tiba-tiba saja menyapa pagiku di Yogyakarta

suara ombak pantai utara, ayunan pohon siwalan, karang-karang, hamparan pasir, kotoran-kotoran manusia, sampah yang menepi, sengat aroma terasi. Mengapa begitu jelas sekali?

rumah-rumah kecil di sepanjang pesisir, beratapkan langit, cahaya purnama. Gunung pasir, tempat aku bermain , perlahan hilang ditangan para penambang yang tak panjang pikir.

kadang laut bergemuruh
para nelayan menghapus peluh

selamat pagi, kampung halaman!
kampung Lebak, pantai utara

kuingat menara masjid tempat matahari terbit, muara sungai, perbatasan desa-desa, sempat ku mengadu layang-layang, mengejar hingga seberang sungai, waktu kecil dulu.

telah kuhirup semerbak aroma kampung Lebak
sejauh mana cita-cita telah kujelajahi?
tak jarang, ingatan pada tanah kelahiran, memapah rindu jadi abu

(Yogyakarta, Juni 2010)

Perihal Abu yang Turun di Kotamu

yang tak sampai padamu, kekasih. adalah air laut
biru rindu, dan buih-buih masa lalu. mengombak
menenggelamkan sajakku.

kau datang dengan kecemasan seperti Merapi
mengirimkan lahar. bara cintamu
pada hatiku yang subur.
lalu kau hapus namanya dengan hujan abu
yang kerap turun di kotamu
aku pernah hidup sebelum kau datang
dan aku pernah mati di hatiku sendiri
tetapi kau, dengan lantang menamainya kenangan
mengutuknya menjadi letusan-letusan

maka di bibirmu aku mengungsi, lalu terkunci

selanjutnya. yang kerap datang, adalah ketakutan
ketakutan akan bencana
sebab kita tak pernah melakukan persiapan
tak ada hujan yang akan memayungi kita
tak ada air laut, tempat kita membasuh luka

lalu, hanya abu yang tersisa
sisa pembakaran setelah doa doa kita
abu abu yang akan mengasinkan sajakku.

(Yogyakarta, November 2010)


Jika Sudah Sampai Padamu, November

jika sudah sampai padamu november
kenanglah hujan tahun lalu. hujan dari matamu, kekasih
tentang asin perpisahan. lagu sendu yang mengantarkan perjalanan.
"aku akan menyeberang," katamu
lalu datang cemas yang paling rintik. mengetuk kaca
"selamat tinggal."

November adalah bulan hujan. bulan ketika Tuhan mentitahkan perpisahan
pada Adam dan Hawa. di surga itu mereka terpisah, di surga itu kita akan bertemu.

jika sudah sampai padamu hujan yang asing
tutuplah jendela. tak perlu kau menatap ke atas genting
yang berbaris mengulurkan tangan, selamat jalan.
semoga akan datang padamu, november yang lain.

(Yogyakarta, 2010)

Minggu, 31 Oktober 2010

Moh. Ghufron Cholid



Lahir di Bangkalan 07 Januari 1986 Putra KH. Cholid Mawardi dan Nyai Hj. Munawwaroh seorang Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, seorang Pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA), seorang Ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Yayasan Al-Amien Prenduan. Antologi Puisi Mengasah Alief (2007,bersama 10 Penyair Angkatan 31), Antologi Puisi Yaasin (Balai Bahasa Jatim,2007 bersama penyair pesantren se Jawa Timur) Antologi Puisi Toples (2009, bersama beberapa Mahasiswa Jogjakarta) Antologi Puisi Akar Jejak (2010,bersama 50 Penyair Al-Amien), Kumpulan Puisi Heart Weather (ebook pertama 2010 di scribd.com dan ebook kedua,2010 di evolitera.co.id), Kumpulan Puisi Dari Huruf Hingga I'tikaf (ebook di evolitera.co.id, 2010), Antologi Puisi Menuju Pelabuhan (ebook di evolitera.co.id) karya-karya lainnya bisa dibaca di pelangitanahjauhari.blogspot.com/mohghufroncholid.blogspot.com alamat email putra_blega@yahoo.com/lora_blega@yahoo.com CP 087852121488


MATA HIKMAH
: Mbah Marijan

Tanah semakin perih
Sujudmu gairah
Dalam mata hikmah

Kamar Hati,2010


SHALAT

Kau dan aku
Hilang batas rahasia

Kamar Hati,2008


ENAM ANAK MATAHARI PELANGI TANAH JAUHARI

Pelangi tanah jauhari
Memberangkatkan enam anak matahari
Memetik bintang gemintang di langit sumekar riang

Pelangi tanah jauhari
Memberangkatkan enam anak matahari
Melukis bunga salam di kanvas temu para bintang sepanjang ruang kerontang

Kamar Hati,2010

Rabu, 11 Agustus 2010

Romaiki Hafni al-Hafidz


Lahir di Batang-Batang Daya, Sumenep, Madura, 20 Agustus 1991. Menulis puisi, cerpen artikel dll. Menyelesaikan pendidikan SD-nya di SDN ! Masalembu (2002-2003). SMP-nya juga ia tuntaskan di SMP ! Masalembu (2005-2006). Setelah itu ia mengembara memburu ilmu Allah ke penjara suci PP. Annuqayah Latee pada Juni 2006. Alumnus MA 1 Annuqayah (2008-2009). Mulai belajar menulis sejak duduk di bangku MA.Aktif di perpustakaan PP. Annuqayah Latee (Koord. Pengadaan Buku), menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Buletin Hijrah. Bedomisili di kompleks Bahasa Arab ‘Darul Lughah Al ‘Arabiyah’ No.02. Saat ini masih tercatat sebagai Mahasiswa STIK Annuqayah jurusan Muamalat semester 1. Penyair yang merindukan “Teduh Sejati” yang menjanjikan kebenaran haqiqi. Puisinya banyak dimuat dibeberapa media massa baik local sampai nasional. Salah satu puisi juga tercover dalam antologi “tinta kehidupan” di PP. Annuqayah

Puisi – Puisinya antara lain :


Sajadah Hati

Poin-poin perjanjian belum lama sirna dari daun telingaku
Bergetaran merekam sayup-sayup suara dari kedalaman
Masih adakah bekas terurat yang dapat kubaca
Sementara peninggalan-peninggalannya diratakan dengan tanah

Non jauh di kedalaman sana
Terdapa pulau seribu, bersit dan gerak hidup berpola-pola
Disanalah tuhan menanam bibit tingkah dan prilaku
Lalu dicocok tanam oleh hamba-hamba sahayanya

Cahaya tuhan mulai besemilir menerawang di tiap-tiap pintu nafas
Memonitoring segala yang ada dan mungkin ada

Aku dambakan
Kami impikan
Mengulurkan hati sebagai terompa perjalanan

Kini hatiku berselimut batu
Hitam pekat beraroma nanah
Jalanku gelap tak ada cahaya

Dengan sajadah hati
Kumulai segalanya dari putih
Memacu kuda secepat cahaya
Memburu alam yang tak mengenal kehancuran


April 2010


Hijrah Sang Pemimpi

Kuselami alam tak ada tepi kendali
Dimana tak kutemukan serat-serat
Batas kejumudan dalam naluri
Meninggalkan keluh kesah
Mencabik-cabik lembaran hatiku dalam

Teramat indah gubuk yang kutinggalkan dulu
Merajuk kata demi kata di bawah pohon mengkudu
Mengaduk rasa bahagia bersama langit memerah

Di dinding gubuk itu
Telah kulukiskan oretan sejarah dedaunan
Adun yang mampu merobek ranting-ranting pepohonan
Mencabut nafas berdenyutan

“ tak ada pena yang mampu menodai oretan jejakku”

Nyawa yang kau tiupkan kepadaku
Selalu menghilang dan pudar
Saat datangnya raja kegelapan
Aku berusaha meronta sekuat tenaga
Mataku gelap tak melihat sebenang cahaya

Tak ada daya
Terbawa
Tak ada naluri
Dalam mimpi

Januari 2010


Yalamlam*

Garis-garis langit wahana keabadian
Dalam torehan, pahatan sejarah
Menanti misteri pertemuan
Selembar perasaan dalam naluri

Desir-desir pasir kenikmatan
Menjamin setiap torehan danbun
Meruntuhkan tiang –tiang al-fahsya’
Di atas tumpukan mizan

O,yalalam !
Tempat peraduan jutaan anak manusia
Bermusyafir menuju pintu tuhan
Pada suatu zaman
Yang telah dituliskan
Dengan darah qadar

Pasir-pasir tersenyum
Melihat gurun-gurun terombang-ambing
Jutaan kaki-kaki anak adam
Tumbuh dari tihamah yaman
Menuju pusar bumi yang dahsyat

Di sana…
Tempat huruf-huruf yang bergejolak
Tapi percuma..!
Hanya setara dan sama yang dirasa

Kicauan angin gurun menemani
Dalam perjalanan panjang
Peraduan nasib
Di rumah perdana

*suatu daerah di Negara yaman, sebagai salah satu tempat permulaan ihram


Latee, 10-11 juni 2009


Cahaya Diantara Hutan Berkabut
-Kepada Agung Damar

Siapa yang mengira akan ada pahlawan
Dalam hutan bertemakan darah
Menyembur nanah-nanah kealiman
Dalam setiap detak sang penguasa

Mereka mendaki langit dengan ketabahan
Membekali diri dengan pengabdian
Lalu mereka berjalan dalam buritan
Memahat sejarah dengan darah perjuangan

Genting-genting bertarung dalam kancah suci
Menanti sang pemenang diantara mereka
Sementara pemegang mahkota berlihai =lihai
Menginjak pedih luka kaum bawahan
Mereatap, menangis
Sebab buta ilmu membumbuhi otak mereka

Siapakah yang berani membunuh ilmu pengetahuan pagi ini?
Atau kami gantung kepalanya detik ini..!
Izinkan kami
Beri kami waktu
Memercikkan cahaya dalam hutan
Berkabut kejahilan

24 Februari 2010


Misteri Angka-angka

Angka adalah hantu. Angka tak mau
Tampakkan wajahnya
Berjalan telungkup di pundak-pundak manusia
Menelusuri semak-semak kantor

Angka layaknya cita-cita
Mendapat fans dalam jumlah yang tidak sedikit
Jiwa berkoar memburu keagungan
Malah terperangkap di sangkar angka-angka

Angka berlarian dari kantong datang
Ke kantong pergi. meraih kenikmatan nisbi
Seribu manusia tergantung
Pada tiang-tiang berangka nol

Angka menjadi indera penglihat
Otak manusia gemetaran semu
terinfeksi oleh virus-virus hitam pekat

angka bergulir
angka berjalan
memacu yang hidup
menemani yang mati

Juni 2010

Jumat, 07 Mei 2010

F. Rizal Alief


Penulis lahir di Pangabesen Sumenep Madura 15 Nopember 1987, alumnus PP. al-Huda dan MA NASA Gap-Tim, kini sedang mempersiapkan tugas akhir studinya di jur. Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tulisannya berupa cerpen dan puisi telah terbit di berbagai media massa nasional maupun lokal, juga terkumpul dalam antologi bersama “Rendezvouz di Tepi Serayu” Grafindo Yogyakarta 2009, “Bukan Perempuan” Grafindo Yogyakarta 2010, serta dalam “Narasi Batang Rindu” Sakera Pangabesen 2010.

HP; 091835151187

Rek. 0112525568 BNI Cab. UGM Yogyakarta a/n Faidi Rizal


Semerbak Garam
---D. Zawawi Imron/

mungkin langit telah kautaburi garam yang diperas dari sajaksajakmu
tanah gersang sudah kau cabikcabik dengan celurit emasmu

kautak akan menyangka ada jerit lantang menggema di atas langit,
mimpimimpi yang tertimbun ombak, telah mampu mengutuk matahari
di langit kemarau menjadi sebongkah batu langit
dan menghafal mantramantra tua warisan nenekmoyang
untuk memecah rembulan dalam semalam

maka tak perlu heran, bila malam telah kehilangan bintanggemintang
siangnya tiada matahari dan kemarau
sebab asin garam dan tajam celuritmu telah menimbulkan luka
yang perih dalam dada anakcucumu sendiri

ya. luka yang amat perih dan tak mungkin kau sembuhkan

Yogya, 2010


Riak Kecemburuan

seperti angin yang tak mungkin merubah warna dalam matamu
dalam matamu akupun mulai menghafal mantra rindu untuk merajut
kembali retak doa yang sempat tersesat di atas langit teramat hijau itu

kosongkan dadamu bila kecemburuan itu tetap membusung
karena lukaku terlampai perih
dan mungkin hanya bisa disembuhkan dengan getar detak jantungmu

ya. kosongkan dadamu, kekasih
langit mulai berubah warna dari merah kental menjadi putih seperti
tulangmu. sedikit hijau seperti sajaksajak yang hadir dalam mimpiku

atau kau tusuk saja dadaku dengan runcing kecemburuanmu, kekasih
dan kita bisa bersenggama dalam kesunyian seperti keabadian dalam
surga

Yogya, 2010


Pada Mimpi yang Luka

kemarin keyakinanku telah sempat memecahkan cahaya bulan yang
pernah singgah dalam mataku ketika memar luka bersimbah darah

kemudian angin senja bekas nafas busuk pertapa ingusan
tibatiba melerai masalaluku dengan potongan malam yang sunyi
hingga akupun menjadi pengantin paling sunyi di dunia ini
meski hanya dalam goa yang berbau dupatapapanjang dan seribu
kembang

o, entah kenapa bulan itu menjadi purnama di atas reranting
sambil bersiul dan mataku seolah binar bercumbu dalam asmara

tidak!

Yogya, 2010


Rumah Retak

hujan kemarin masih singgah dalam rumahku membasahi kitabkitab
yang tak sepenuhnya selesai kuterjemahkan menurut arti kegilaanku
harkatharkatnya kabur dan satu hrufpun masih tergenang air
sedang tubuhku terus menggigil kedinginan

hujan kemarin telah meratakan mimpimimpiku yang tersimpan
rapi dalam almari
dan mataku hanya bisa menyaksikan tetes air
yang terus gusar menusuk anganku yang sempat tegak serupa alif

rumahpun retak ketika aku semakin gila mengutuknya menjadi
kalimat sunyi dalam sajakku yang sunyi
sialnya, hujan itu
seperti tak akan pernah usai untuk terus mengguyur rumahku
selama aku tak berhenti mengutuk

Yogya, 2010


Gelisah Sunyi

bahkan pada kebisuan terdalam dari sisa sunyi yang kumiliki
kecemburuanmu tetap meretakkan dadaku yang kosong
kautelanjang dan menari dalam singkap mataku yang sepi
maka akupun takkan berhenti disini dalam sajaksajakku yang terpatri

Yogya, 2010
Episode Sunyi

tentang kesendirianku di ujung malam dan dingin yang terlampau
gigil itu
bulan bertandang gelisah di dalam matamu yang sepi
hijrah ke semaksemak belukar dalam sajaksajakku
lantas kesunyian menancap gelap dan luka yang tertimbun mimpi

tentang keberadaanmu dalam lukaluka perihku di musim hujan
sajak terakhir yang belum rampung kutulis
harus kuhafal sendiri dalam kesunyian
sambil menunggu kecemburuan paling besar dan kesakitan paling
dahsyat sepanjang malam

ya. tentang ki-ta
yang hanya mengharap satu kata saja untuk sempurna

Yogya, 2010


Rindu Penyair

bagiamana bisa aku menemuimu dalam kesunyian—katanya di selasela
hujan waktu pagi dan tak selesai sampai malam hari di matanya

segumpalkalimat mencair seperti air dalam duduksuntuknya setiap saat
melawan gemuruh yang menggulung gundah di atas awang
hingga tubuh penyair itu terpelanting tanpa gerak memenuhi luas
mimpinya yang berantakan (katakata bertebaran tanpa arti melebihi
kesakitan yang perih)

aku tak ingin kedatanganmu, sayang. aku hanya butuh lukamu untuk
mengamuk penantianku yang panjang—kata seorang perempuan
yang terus membuka gaunnya sampai telanjang memasuki hujan
yang bercak katakata

lambat laun.
kalau begitu untuk apa aku tetap disini. lebih baik aku lenyap saja
dalam katakataku sendiri hingga aku menemukanmu dalam
ketiadaanku

Yogya, 2010


Pantai Sunyi

melepaskanmu serupa membuang satu jarum di tengah samudera
bagaimana mungkin gelombang dahsyat dapat kutaklukkan

tangan ini hanya pandai merangkai sajak sunyi di pinggiran pantai
dan menulis namamu pada ombakombak kecil

atau menyimpan rindu itu di antara desir angin dan daun cemara
kamudian melempakrkan batubatu dada pada perut matahari

lalu aku berkisah pada nelayan tentang penyair yang melaut sehari
semalam hanya untuk merasakan asin garam

ternyata masih lebih perih jika telah mengenai lukaluka—katanya
maka antara pergi dan jalan pulang aku pun memilih untuk tetap disini

menjadi penyair yang selalu tenggelam dalam katakata sendiri
dan kau bersedia membacakan ketika orangorang terlelap gulungan ombak

Yogya, 2010


Semedi Panjang

bila lilinlilin ini kau padamkan bagaimana aku tahu cahaya bulan dan
pendarpendar bintang serta merasakan panasnya matahari

aku tak ingin tersesat di antara keraguan dan malam
sebab mataku sudah mulai binar dan dadaku terasa hangat sekali, sayang
sementara kita baru memulai semedi tapa panjang

bila hanya karena takut tak perlu kau membuka mata bacalah rinduku
berkalikali akupun akan menghafal kecemburuanmu dari kesunyian ini

jangan kaupadamkan lilinlilin ini atau menyimpannya di dadamu, sayang
hingga kita rasakan cinta seperti yang lahir dari hati Yusuf dan Zulaikha

Yogya, 2010


Surat Merah

surat merah yang kau tulis untukku adalah api
aku butuh kesunyian untuk membacanya agar mataku tak ikut terbakar
bukankah kau hanya ingin menyimpan api dalam dada dan aliran darahku

setelah meleleh nanti suratmu itu akan kulemparkan pada debur ombak
karena di sana ada secarik luka lama yang sedang mengaji rindu

silakan kau tulis lebih banyak lagi suratsurat merah dan letakkanlah di
pinggiran pantai, setelah perih nanti akan kutulis lagi dalam sajaksajakku
biar kesakitan itu berubah jadi nikmat—sebuah petikan gitar
yang menjelma seorang bidadari sedang menggantung bulan di leherku

pada saatnya kau terlelap, giliran desis sajakku yang akan membawamu
melesat ke atas langit menabur pernikpernik cahaya atas nama rintih rindu
kemudian kita benamkan masalalu demi mengundang matahari agar aku
tak lagi tersesat dalam lingkar waktu

Yogya, 2010


Narasi yang Hilang

jika kau anggap keberangkatanku itu adalah hilang maka lelapmu sendiri
yang akan menemukan kita telah tidak saling bertemu dalam mimpimimpi

aku telah berani menulis rindu penuh dalam namamu betapa kau ingin sekali
kubenamkan di tempat sunyi—pada kenyataan ketika kita saling mengisi

seperti bunyi rintik air yang selalu ingin menyimpan ketakutan dalam perigi
kupungkaskan akar kecemburuan yang tumbuh di bawah lembabjerami

dankau boleh menceritakan kegetiran darah memuncrat di tepitepi
tapi dengarlah dengan meletakkan kepalamu di dadaku—detak jantung ini

tibatiba di persimpangan jalan narasi sebait rindu hanya tersesat dalam sepi
padahal seharusnya telah mengantarkanmu sampai di sini

sekalian kuharapkan matahari meretakkan jalan paling sunyi yangku miliki
tapi lagilagi hanya ada mendung yang diamdiam menyimpan api

sampai di sini (kau) telah meleyapkanku sebagai lakilaki
sendiri. kembali kulis satu mimpi jadi makrifat sunyi dari sebuah narasi

Yogya, 2010


Sesuatu yang Hilang

pertama kali kaumenatap aku sudah merasa ada sesuatu yang hilang
dari pertemuan ini—dalam matamu kupelajari satu hal tentang bagaimana
menyimpan ricuh rindu dalam kesempurnaan purnama
(keheningan tetap katakata indah dan tak bisa jadi puisi)

apa yang mesti kulihat dari tatapanku sendiri yang telah patah ini
mencoba meramal dengan permainan rindu itu sudah tak bisa kulakukan
apalagi mendekapmu dalam kemesraan

sudahlah takperlu kau memaksaku menyelami matamu lebih dalam lagi
sebab aku terlanjur membuangnya pada hantaman ombak berduri
dan kau selamanya bisa jadi lautan bersama sisik amis ikanikan

ya. lalu kau tak perlu menanyakan kabarku
sebab sudahpasti aku jauh lagi pula aku tak yakin kaubisa menemukanku
dalam dirimu

Yogya, 2010


Air Mata Keruh

jangan sekalikali memaksaku memajang cermin tua yang telah retak itu
sebab kaupun takkan pernah bisa memecahkan keruh airmataku
—sebuah kesunyian telah menenggelamkanku dalam sajak si penyair

Yogya, 2010


Elegi Pertemuan

ada kesakitan memang yang sangat akan kupertahankan
demi meretakkan sebongkah matahari yang kauletakkan dalam dadaku
setelah retakretakan itu jadi kemarau akan kutancapkan di keduamataku

pelanpelan darah akan menetes bercampur air mata hangat
mengalir ke sungaisungai hingga di perbatasan paling menakutkan

berbulanbulan aku mengandung rindu entah dimana akan kubuang
segala tempat sudah penuh sesak dengan ribuan namamu
hanya ada satu kesunyian yang mungkin masih bisa menusukku

atau kusimpan saja dalam letihlelahku
biar penyair sunyi itu rela mengabadikan dalam sekumpulan sajaknya

Yogya, 2010


Sebait Kesunyian

mestinya malam ini kita sudah sampai di pulau sebrang setelah
tak ada lagi ombakombakberpacu dan berkalikali menerjang perahu
yang sedang membawa mimpi kita

hanya saja kita masih tersesat di antara nyanyian para nelayan
dan katakata yang bermukim di perut ikan

sudah pasti kita akan tenggelam karena perahu itu telah retak parah
lalu masihkah kau akan menangis seperti mata yang terluka
atau dengan hati damai kau ikut serta bersamaku menceburkan diri

sebab aku sudah tidak sabar ingin dilumat ombak sampai hancurlebur
kemudian akan kucari puisi sampai di tempat terdalam sekalipun

pada saatnya nanti
sebait kesunyian akan menenggelamkan rindu di dasar mimpi
bahkan selamanya dalam keabadian

Yogya, 2010

Ra. Maisur_Nispah



Ra. Maisur_Nispah ; Merupakan salah satu produk tuhan yang bersemedi di United States of Bragung yang terbit pada edisi 29 Juni 1994 di pangkuan ibunya. sampai sekarang ia masih tercatat sebagai Makhluk Tuhan yang paling Pintar, Funky Abiz, Kocak dan Setia pada kekasihnya. Disela-sela kesibukannya dia masih memperhatikan dunia tulis menulis bahkan sampai sekarang dia masih tercatat sebagai anggota Sanggar ANDALAS dan Teater KOTEMANG PP. Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.

HENING TERCIPTA KARNA SENYUMMU

hari ini lara melebur bersama asa
yang tercipta dari wajah teduhmu
sementara kau cuma tersenyum
melihat diriku yang bersimpuh di pusaramu yang bisu
wajah manis duduk di altar moksa
mencoba untuk memaknai
teka-teki luka yang sempat kau sabdakan
dan ketika malam menyekat langit
kau datang mengintipku
dari balik janur yang mulai tertusuk oleh malam
tubuh mungilmu menari-nari
mengeja gemerincing alam
hingga terciptalah hikayat
membuat kau dan aku
mengukir risalah Laila dan Majnun
jujur ku baca lembar pengakuanmu
" Sur.... nafsuku tak terkendali "


SEORANG GADIS BERNAMA KACA

tataplah mataku kasih
riak gelombang yang terpantul
mengharuskanku mematung dibelahan bibirmu
selembar kaca yang menggantung dihamparan matamu
membuatku hambar
hanya satu kata yang sempat melompat dari bibirku
" ku ingin mempersuntingmu dengan basmalah "


HIKAYAT I

Lin….
Kepalamu terkelupas
Cahaya putih membuncah di ubun-ubunmu
; hentak
; lunak
Pecah membentuh noktah atom
Lin….
Prasasti yang menempel di punggungmu
Memaksaku untuk mengejanya
Meski sulit bagi batin
Lin…..
Garis yang melintang
Terpantul bersama luka yang menganga
Menghempas dinding kebisuan
Lin….
Kucengkram keningmu
Maaf…
Kuharus remukkan batinmu


RISALAH PURNAMA YANG LALU

Pandanganku melesat
Menerkam tubuhmu
Bayi dalam timanganmu
Menjerit
; Mendengkur
; Menanyaimu tentang nasib
Nasib mengapa kita terkekkang
Ah…. Bosan sekali aku membahasnya lagi
Ku akhiri dengan senyum
Semuga tangis ini bertahta di pelupuk nadiku


TERPUNGKUL BERSAMA CINTA

Sempurnalah sekarang
Tubuhku kau tindih
Kau telan aku
Di ketiak pengabdian
Kerumunan kaummu
Memporak-porandakan sel-sel celah nadi
Tertelungkup di nahkoda
Dasar…..
Tak tau malu..
Kau zinahi aku


HAWA DIBIBIR PANTAI

Sajakku surut
Tercabut wajahmu yang kecut
Bersembunyi dibalik kabut
; Takut
; Lutut
Padahal, Sebelum kau menjajahku
Ku t’lah membungkus kata
Menjadikannya 3 ton kata
Tapi…
Kenapa sajakku surut


PANDORA

Pusaran waktu mempertemukan kita kembali
Dimulut laut
Kutemukan riwayatmu
Berbicara riwayat…..
Riwayatmu mengambang
Menubrukku dari tebing bait
Pandora….
Itukah tubuhmu
Berlayar dikaki langit
Menumbuk matahari
Dengan tombok metos
Pandora…
Kulantunkan namamu

Sabtu, 27 Maret 2010

ABA YASIN

ABA YASIN.seorang penulis berdarah sunda yang dilahirkan dikota metropolitan lebih tepatnya pada tanggal 09 oktober 1992. sekarang ia tercatat sebagai santri Annuqayah, ia sekarang juga aktif didunia Teater dan berproses bersama kawan-kawan dikomunitas sanggar ANDALAS.
Alamat : Jl. Makam Pahlawan no.02 PP. Annuqayah Daerah Lubangsa blok E/13 Guluk-Guluk Sumenep Madura 69463.


Percakapan Di Ruang Tamu Perbatasan Senja


Percakapan di ruang tamu perbatasan senja
Aku terkapar di antara kesunyian dedaunan
Sebab cahaya lampu neon di kamar itu
Telah padam di matamu

Kau hinggap didahan pohon
Belakang pekarangan rumahmu
Sambil tersenyum kau goreskan
Luka pada tubuhku

Suara yang semestinya tak lagi
Tercatat dalam setiap langkah kaki
Kini kembali menjadi cerita matahari
Yang tak terlupakan disepanjang musim kemarau

Hingga pada akhirnya
Penghujan pun tiba
Dengan membawa sepotong
Bunga mawar dari kamar

Tanean Saghara, 10 agustus 2009

Senyummu Mengalirkan Darah Dalam Tubuhku

Seyum seperti kaca
Yang disetiap goresannya
Mengalirkan darah sampai kehilir
Turun dari ubun-ubun melewati peredaran darah
Sampai keujung kaki

Tawamu terselip diantara rerimbunan
Dedaunan dihalaman rumahmu
Dekat pohon mangga kau duduk sambil
Mengelus keningmu dengan sapu tangan
Yang tak sempat aku sucikan
Dari sisa darah yang menetes keluar
Dari ujung kaki yang tertusuk
Jarum yang terikat pada benang hatimu

Hingga sampai saat ini
Aku masih membalut luka yang
Mengalirkan darah dari senyummu

1/3 malam, 04 Oktober 2009

Pesan Untuk Saudaraku
(buat sae talareksa)

Kak,
Jika nanti matahari telah menghangatkanmu
Dan sepi tak lagi merajam waktumu
Jangan lupakan aku

Sebab dulu kau pernah
Menyetubuhi malam-malamku
Hingga tanpa kau sadari
Tengkukmu basah oleh air-air di kepalamu

Andalas, Desember 2009


Bulan Bengkok

Malam itu,
Ada seorang ibu membacakan
Dongeng untuk anaknya
Tentang bulan yang selalu mengerang

Sang anak pusing
bukan kepalang
Ia berpikir mana ada
Bulan yang bisa mengerang

Siibu tersenyum
Melihat anaknya
Yang mengerutkan dahi
Sambil gigit jari

“Nak suatu saat kau akan mengerti
Sebab kau nanti akan menjadi kesatria
Dengan seperangkat alat shalat untuk istrimu”

Sang anak semakin tak mengerti
Menggaruk-garuk kepala, ia melihat kelangit

“Bu, malam ini kok bulannya bengkok”

Siibu tertawa hingga malam larut mengandrungi mata.

Guluk-guluk, 2009

Selasa, 23 Maret 2010

Villson B. Eng:




Lahir 11 Juni di Sumenep Madura. Karyanya dimuat di harian Radar Madura. Pernah aktif di beberapa sanggar sastra. Kini tengah berencana menerbitkan antologi tunggal: Ladang Sunyi. Alamat kontak email: rengdhisa@gmail.com.


KEMBARA 1

Langkah diberondong legam
Memar lebam di tanah suram

Mimpi pun basi
Menunggui kuburan resi

Ambruk sangat dalam
Digusur dendam

2009

KEMBARA 2

Biar begitu, masih sering aku bersua
Pertapa merapal mantera tanpa makna

Kalau pun bermakna
Ujung-ujungnya yang terbaca
Tak tepat guna

Jaring-jaring dan laba-laba
Di jantung gua justru merajalela
Perlahan-lahan memangsa

Tinggal nama
Dengan gading yang sirna

2009


KEMBARA 3

Hingga hujan yang turun
Menebar deras sejuk halimun
Sebentuk pelampiasan
Tak berkesudahan

Mengikat musim-musim
Penyemian diulati minim
Pucuk-pucuk patah oleh nisbi
Setebal kabut yang tersaji

2009


KEMBARA 4

Melintas malam menembus siang
Bagianku adalah pagi yang tak terang
Lengang kerontang ditumpuki belulang

Aura dan hawa siluman
Terus-menerus menyesatkan pencapaian!

2009


BERCAK

Bukan semata tapak-tapak
Ternyata tanah terjangkit bercak-bercak
Wabah aneh yang hamanya tak mudak dilacak!

2009


CERITA IBU

Ibu berkisah seperti mendesah:

Di luas raya cakrawala yang menaungi kita
Sekelompok makhluk pemangsa tinggal di sana
Mengikis hawa murni, menghisap daya hidup kita
Tumbal utama untuk mengongkosi selera
Percumbuan syahwat mereka yang berhati buta

Ibu akhiri cerita. Mata-matanya berkaca-kaca
Berlinang menatap ringkih tubuh anak-anaknya

2009

Musyfiqur Rahman



Lahir di Sumenep 5 Juli 1994 asal Ganding
tekun menulis puisi mulai ia duduk dikelas VIII
MTs. Bercita- cuta ingin mrnjadi penyair yang bisa mengubah peradaban suram menjadi peradaban yang terang menderang, sekarang ia duduk dikelas akhir MTs. 1 Annuqayah, dan nyantri di PP. Annuqayah Daerah Latee Rayon Darul Lughah Al-Arabiyah
Alamat: PP. Annuqayah Daerah Latee Rayon Darul Lughah
Al-Arabiyah no 05
Jl. Makam Pahlawan Guluk-Guluk
Sumenep Madura 69463
email: arrahman_afia@yahoo.com


PIJAKAN SANG TUNANETRA

Awali pertemuan itu
Menghembus karena angin menepi
Tujuh kali keliling
Matagari padang siang kembali malam
Engkau tusuk dengan jarum
Sehingga peti yang engkau pinta
Terbuka meleset pergi
Mengapa engkau lihat darah
Dan melambaikan tangan
Menyebarkan tali
Agar aku bisa mendaki tali itu
Tetapi itu hanya memakan sisa air
Setelah beribu-ribu tahan berubah
Sehingga dikatakan pada tulang-belulang
“kami sekarang akan memberikan
matagari ditanganmu”
tetapi engkau buka pakaian kata
datangkan pada sayap burung
sehingga pulau yang dulu kami bangun
akan berhati-hati membuka urat saraf
sejauh tuan yang membaca ceritaku
ysng dulu sempat aku tulis didedaunan
dan lautan sebagai tinta

Guluk-Guluk 02\2010

BERKAS PUING DESA KAMI

Awali perjumpaan dengan perjalanan
Memupuk perhatian derita
Mendapatkan teriakan angin
Karena kami sedang menghadiri pesta
Demi anak tujuh turunan
Akan berlayar manuju kebun
Meninggalkan puing-puing dan berkas
Angi bersemilir membawa layar perahu
Menyisakan setapak jejak penggalang jejak
Lalu berubah menaklukkan kota
Di depan deesa yang penuh petir
Menyambar kehidupan yang mereka buat
Dari lagu kapal peperangan
Oleh mereka yang membaca tarian bumi
Sehinga air mata bumi menati aral
Menjadikan kami lubang
Wajahnya menyerupai udang
Yang tebang mencari teka-teki
Air mata terbaring di atas tawa mereka
Lalu apa arti makhluk yang selalu menepi
Karena pada mereka
Semua orang di sini
Mengharap makanan dari peluh

Guluk-Guluk 02\2010

Ummul Corn,

Ummul Corn,
Ummul Corn, adalah siswa SMA 3 Annuqayah. Berasal dari desa Tambuko Guluk-Guluk Sumenep 69463. Dunianya cukup silau oleh dongeng-dongeng pada setiap kilau butir jagungnya.


Membelah Topeng

Mad, nyala matamu adalah kunang kunang, malam itu
;saat kau menjelma katak bertapa dengan mahkota
Gigil angin menyapu telingaku
Lembut
Kau pintar meniup rasa
Kau lihai membisik kata
Tapi bagiku
Tak perlu kacamata untuk ku mengikat mata
Sebab aku tak rabun untuk
melihat tubuhmu yang biru, jernih, cahaya, dan panas
(hanya, aku takut terbakar…)

Ssst!
Suaramu berisik, Mad
Seperti tak tik hujan yang jatuh di seng kamar mandi
Hampir kau buat aku luluh oleh abjad
yang kau pahat pada relung relung rumah kayuku
Untuknglah
Tuhan masih melekat dalam urat
Hingga topengmu dapat kubelah

Guluk-Guluk, 04 Maret 2010


Kita Adalah Robot

Pada sebuah jembatan sore
Kau tengkurap di atas hamparan karpet merah
Kuda putih menari-nari di punggungmu
Aku berada di bawah cahaya bulan
Yang violet
Matamu
Juga pedangmu
Kita bertemu di rel kereta api siang bolong
Bohong
Khayal
Semua jadi kacau
Balau
Kau tertawa
Ada apa?
Aku menangis
Mengapa?
Pada sebuah keadilan
Kita tak pernah bertemu
Kau sore keemasan
Aku malam pekat
Siang itu rumah mereka
Pertemuan kita bohong!
Kita semua tidak gila
Tapi robot

Guluk-Guluk, 31 Januari 2010

Lelaki Angka Angka

Lelaki itu
yang meniupkan rindu
di sela sela bantal malam malamku
Lelaki itu
yang hadir
dengan sihir bermantra gigi putih
mampu membuatku mabuk dalam mimpi
hingga dejavu di negeri nyata
Lelaki itu
yang mengajariku berjalan
dari bukit
menuju surau tempat kekal kami
bersemayam
Lelaki itu
adalah guru
namun ia tak bisa menerjemah puisi
sebab di tangan kirinya hanya angka angka

Guluk-Guluk, 5 Januari 2010

Bakti Mata Carang

Kelahiran tanah pelosok kampung Bungduwa’ Sumenep Madura. Tulisannya telah terbit di berbagai media baik nasional maupun lokal. Alumnus PP al-Huda dan MA NASA Gapura Timur Sumenep. Saat ini masih terus aktif menulis karya fiksi di tanah kelahirannya. Mengasuh sanggar 7 Kejora, Kobung, Bengkel Sastra. Sajak-sajaknya terkumpul dalam antologi bersama yang perdana “Narasi Sebatang Rindu” Sakhera Pangabesen, 2010.


Biografi Sajak Rembang

Sajakku luruh ke dasar gelap
di lentang musim tahajjud mawar
menaruh akar pada gerai rambut perawan
Baca!
satu kata memenjara ribuan hati purnama
sajakku
hilang tajam beling
tersusun dalam bening
padam
bersama sepincuk adzan
yang menghibur lukalukanya sendiri
dalam kerjap mata muhammad
tulis!
Satu huruf menusuk lakon
seperti pecah jarum menjahti kenangan
setelah perpisahan

Sumenep, 280709

Perasaan yang Tertinggal di Pangkal Rambutmu
;Gusti elvia


Hati dirambah kakimu dengan perjalanan harum kumkuman
tumpah dari dua mata bulan yang menukar kilau
pada kesakralan malam lebaran
paku mata Yusuf, rembang menimang surat-surat cinta
memacak bidak sejarah ke beranda kebohongan Zulaikha
setelah melambang senyap tanah mesir di atas payudara
; Hanya dalam cinta
tubuh laut melebihi semesta

Sumenep, 310709


Belacu

pada belacu
hati tembok tua menyimpan murung
seluas minat ujung sabit melenyapkan gugus mata
lampu
di kamar tak berkelambu
(kematian menawarkan jenisnya yang lebih toleran
tanpa ketakutan, tanpa kehilangan, tanpa pesakitan
hingga menjadi pilihan bagi mereka yang tak pernah
bercinta menemui cantiknya dunia di ujung jalan)
pada belacu
asbak ata kukus
menyerap
maqom tembok tua
jadi juang yang terbang

Sumenep, 2009

Ibu

hanya ia
langit merendah di garam laut
meminjam asin untuk lidah hujan
yang menjilat peta di luar
bismilla
Sumenep, 250809
Di Muka Cermin
Hamzah takdzim
menancap
pada lambung trotoar
;……dan rumahrumah
kembali pada ajal

2009


Kembang Sujud

tuhan jatuh di lengkung garis hujan
dan guntur yang menampar-nampar runcing bulan
telah sampai dalam
jabat tangan
“lama tak mengenal-Mu yang Esa
selain kisut bayang membenam dalam kolam”
lubuk debu semu membisu di pias suram
biji istighfar
seperti gaib-Mu selalu kutanyakan
pada jalanjalan
yang enggan membuat batas
di keangkuhan zaman
Bungdua’2009
Menjelang Subuh
kujelang subuh, dingin sepi masih sebilah keris
melukai pertapaanku di lubung terkhim
tiada harap kecuali jalan melengkung
dari puncak sarung mengapi korek api
dan daun kering
ibu mendengkur dalam lepuh bulan dalam plastik
seperti ayah menusukkan pakupaku ke tubuh jam
agar waktu tak menyuruh
kujelang subuh, seekor semut mengumpan kail
ke dasar kepalaku mungkin ikan kecil yang kau
selamkan telah bersisip salju berenang
mengunyah purnama di setiap kota
“Aina….?”
kilau bohlam pada bulubulu kucing yang tidur nyenyak
membuat dusun lain
menyuruhku hijrah dengan pagi yang lebih perawan
menundukkan lambai mawar
terambang teduh di mata pisau

2009

Selasa, 02 Februari 2010

Abd. Rahem Umar


Abd. Rahem Umar. Lahir di Sumenep – Madura. Alumni PP. Terate – Pandian Sumenep dan STKIP – PGRI Sumenep, Jurusan Pendidikan Matematika. Salah-satu Puisinya terkumpul dalam 142 Penyair Nusantara Menju Bulan (Arsyad Indradi) Kini aktif sebagai Pengurus Bidang Musik dan Teater LESBUMI Sumenep dan Pemembina Teater Becek SMKN I Sumenep


Hikayat Hangat Tubuhmu
Untuk Anakku Agung

Selamat datang di dunia, Anakku
Dunia para pendahulumu
Jangan menjerit karna kau merasa asing
Kelak kau juga pasti merasakan asin

Mulailah kau menerjang tangan Ibumu
Saat kau nikmati puting susu
Sepi matamu adalah isyarat bisu
Lantaran bumi ini tidak lagi biru

Mulailah menggaris tanganmu, Anakku
Dengan lengking tangis malam
Belajarlah berkedip
Dengan alis matamu yang sedikit

Sedebupun jangan diam.
Sumenep, 07012010


Parjuga

Angen ngalemba’ nonggal seppe e ate
Anteng barenteng asapo’ daun jate
Jembar-jumambar sokma laju ngarte
Marga babbar asareng tera’ bulan pote

Taronduk pekker aleng-leng e bumi Guste
Ce’ kaburuna adantos laggu’ are ngabubur
Cellep socana akadi bintang
Asre ropana potra rato
Parjuga gulina masamporna dhadha

Liya lites
Kembang kates
Bulan noccer

Sumenep, 11012010


Refleksi Hujan

Sepertinya matahari esok akan menggerhana di pelupuk mataku
Gelap berabad-abad sudah haripun begitu
Tak pernah paham
Tinggal catatan kecil yang robek melepuh
Dalam tong sampah dan bunyi sexaphone
Otakku terus berputar bersama gerhananya senja
Palem dan akasia yang tak sia-sia
Menyederhanakan cintaku
Cintaku yang sederhana
Menziarahi bunga rambosa bahkan kalimat-kalimat buram
Merekah di antara helai-helai rambutmu yang kepirangan

Pahamilah cintaku
Seperti kau memahami dirimu sendiri

Sumenep, 161205


Rindu

Kuntum mawar merekah pada tangkai malam
Selalu sajikan tawa yang tak bertuan
Ingin rasanya mendekap peluh penuh sungguh
Bunyi merayap dipertiga malam yang selalu kelam
Tarian rasa menyiput beringsut susut
Jadi lara
Lantaran rindu tiada tara

Gersik 06062010


Pengakuan

Lelah dalam bimbang
Aku runduk menyeka nafas panjang
Meludahi kabut dengan mabukku pada tarian ilalang
Sebelum hujan hinggap dikeningmu yang lapang

Ada kegetiran terbungkus ciut
Aku malu disuguhi senyum seperti maut
Membingkai harap dengan sebekas raut
Padahal inilah tenung hati yang beranjak kusut

Memujimu, aku seperti menghina diri
Kulit dan darah bagai terkebiri
Lantaran hentakan nispa memadah jari-jari
Seujung kukupun tak ada yang sendiri

Jika saja kampungku kota
Maka sunyi akan kucipta
Derai-derai indah dalam kerudung
Hatiku bisu terkepung mendung


Yang pertama kuingat
Aku bergantung pada kerudung putih berkeringat
Lalu sehelai senyum terasa hangat
Dan aku merasa nikmat

Hiduplah, kerasanlah, rebahlah
Meski hatiku kau telanjangi takkan lelah

Sumenep, 25062010

Ir Mas Kanjeng Kelana


Ir Mas Kanjeng Kelana

Alumni Pondok Pesantren Sumber Payung Sumenep Madura. Pernah bergiat di Sanggar Tirta Ganding sekaligus pendiri Sanggar Kelana P.P Sumber Payung, Sanggar Asap P.P Sumber Payung, Selain itu juga inten di komunitas FKMM (Forum Kebangkitan Masyarakat Madura) dan masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dicelah wkt kuliahnya ia juga aktif di sanggar Nuun Jogja
E-mail: Jun_Irmaskanjeng@yahoo.co.id
Domisili di Komunitas Teater Celurit Hastina 191 Gk.I Jogjakarta
Hp.. 081913647077

Puisinya antara lain :

JAUH, KU GAPAI MAKNAMU
Qaf, Ha, Ya, ‘Ain, Shot Mu
Tak pernah meredam adamku.
Jogjakarta 2009

ODE MALAM PENGANTIN
Malam ini adalah malam pengantinku
Seribu malaikat dan bidadari bersayap pelangi
Terbang menari menhiasi kamar kecilku
Sementara aku duduk di sebuah singgasana
"akulah pangeran muda" gumamku
"sebentar lagi gadis itu akan menjelma wangi kasturi" malaikat-malaikat itu berbisik.
Setelah pesta selesai
Aku berjalan menuju kamar pengantin
Ranjang melati, semua berlapis melati
Gerakku kaku mengharap gadis itu muncul di balik pintu
Keringat dingin merayapi dinding sepi
Empat jam berlalu
Gadis itu tak jua menemuiku
Hampir saja aku menjerit
ketika ranjang melati itu berubah karanda mati dan baunya masih menyimpan nyeri
"melati itu telah hilang" gumamku lagi
gadisku… gadisku… gadisku…
ah…. Ternyata gadisku hayalanku.
Jogjakarta, selasa malam, 24


NIKMAT HIDUP SANG PUJANGGA
Aku berlari mencari hutan
Aku menari mencari Tuhan
Bermimpi menari-nari
Berlari mencari mimpi
Berlayar dengan biduk kecil
Bercerita di atas gelombang
adalah nikmat para pujangga
yang memerah spekulasi di lautan ilusi dengan puisi
terlelap di atas duri adalah majasi.

Jogjakarta, 2007