Laman

Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Madura

Senin, 31 Januari 2011

Moh. Nurul Kamil


Moh. Nurul Kamil, lahir di Batang-batang, Sumenep 05 Juni 1991. Alumnus TMI AL-AMIEN PRENDUAN, hingga sekarang aktif di berbagai komunitas sastra. Antara lain: Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) cabang Sumenep, Forum Lingkar Pena (FLP) ranting Al-Amien dan Forum Bahasa dan Sastra Indonesia (FBSI). Periode (2009-2010), mantan ketua Sanggar Sastra Al-Amien (SSA) Prenduan ini, menjadi redaktur Majalah Qalam Suplemen Khazanah. Beberapa kali memenangkan perlombaan; Juara II Lomba Menulis Puisi Kandungan Al-Quran (PORSENI: 2008) Al-Amien Prenduan, Juara harapan III Lomba Cipta Puisi Remaja (Pusat Bahasa: 2010) dan Juara I Lomba Menulis Puisi Inspiratif (FLP UM: 2010) Malang. Karya-karyanya berupa puisi dipublikasikan di media cetak atau online seperti Radar Madura (Jawa Pos Group), Majalah Qalam Suplemen Khazanah, Buletin SASTERA, Horison/Kakilangit, Buletin SEMBAHYANG, penulis muda.com, www.mohnurulkamil.blogspot.com. Puisi-puisinya juga dimuat dalam bunga rampai: Akar Jejak (Antologi puisi penyair Al-Amien: SSA: 2010), dan ESTAFET (Ukhuah Publishing: 2010). Sedangkan kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah, Pemabuk (SSA: 2010). Untuk forum silaturrahmi di, kamil_poetra@yahoo.com atau di Websit: www.mohnurulkamil.blogspot.com

CATATAN KENANGAN

: Warda

magrib jatuh ke dada kita bagai gerimis, tapi tak menyebabkan basah.
di sini, dalam remang yang tak selesai menjalin kisah dengan kesucian bulan
kita duduk bersandingan di atas kursi tua.

dua tiga patah kata kita lepaskan menjaring doa pada setiap kelepak anak jalanan
yang berlari berputar di trotoar samping gajayana
hingga tak ada luka yang tersisa atau halaman kenangan dimabuk dilema.
sesekali kita bertukar senyuman, entah untuk apa
hanya mata-mata kita yang jujur menyampaikan suratan rahasia.

aku malu bagaimana harus melepaskan kelenjar ini,
karena aroma kenangan masih kau hirup dengan bakti sejati.

permpuanku, maka tidak salah jika
kau masih saja bertanya tentang kebenaran. ya, kebenaran hakiki
kau masih saja bertanya tentang kesendirian. ya, kesendirian abadi
karena metafora sejarah tidak mudah kita lepaskan begitu saja pada arus waktu.

membuka kembali semua catatan ini, terasa ada gema suara berbisik
bahwa kita mesti bergegas menentukan pelabuhan terakhir
sebelum malam larut diterkam waktu atau diabadikan sunyi

Madura, 3 Nopember 2010


LAGU MATAHARI RABU SIANG

betapa indah lagu matahari rabu siang,
ketika dzikir rerumputan memberi salam pada kupu-kupu yang bersandar di ranting dan batang-batang.
bunga-bunga mekar, setelah bertahun mengabadikan dirinya dalam diam.
dalam serpihan sunyi yang dalam oleh cerita kenangan
perempuanku, ada enam cerita angin muson ingin kusampaikan padamu
lewat surat rahasia atau suara muadzin serta proklamasi kemerdekaan suatu negeri
hingga perbedaan bahasa dan budaya tak menjadi persoalan nyata
seperti petani dengan penyanyi, penyair dengan pejudi

sesaat sebelum lagu selesai kunyanyikan, sebelum sempurna menjadi sulaiman
bernyanyi dengan burung bercinta dengan rumputan.
ada bisik kecil angin sakal dari timur membawa kabar rindu kampung halaman.
percakapan indah, tembang sederhana serta agama sempurna
ketika kertas-kertas rahasia melipat dirinya dalam asmara kasih yang dalam,
atau mimpiku kunang-kunang mengecup keningmu dalam sembahyang.
perempuanku, dalam koridor petani padi, tembakau dan kembang seruni
kau selalu ada di sisi. menatap cemas gemericik mata air langit yang tumpah di ranting.
dengan bayangan ikhlas tanpa harap balas, segala yang kuucap kaucecap dalam senyum tuntas.
bagiku mungkin ini sebuah mukjizat atau ilham atau hidayah.
ke mana mesti kutunjuk arah, mencatat persoalan sejarah.
tentang negeri luka dan bangsa berairmata.
karena pancasila hanya menjadi ideologi dusta para pecinta kedamaian
karena cinta menjadi gombal dalam kacamata pemimpi kebahagiaan.
atau tentang takdir yang tak bisa diterjemahkan dalam bahasa lisan.

kebodohan mungkin sesuatu yang bijaksana dalam menentukan takdir
ketika malam-malam lewat di mataku tanpa gemerlap bintang-gemintang
gelap bersandar pada dinding hati yang suram.
aku menatap ke langit kemudian ke hutan. mengingat wajahmu kesekian kali, menghafal namamu hingga tak ada bimbang.
tapi kebodohan terlalu bijaksana menentukan takdir
lukisan kaligrafi di hati terpaksa harus terlukai
kita harus kembali pada fitrah matahari pagi hari
saat petani berkenalan dengan pelangi, saat penyair belajar menulis puisi.
ada sesuatu yang tak bisa kita pahami, berupa baiat ataupun sepi dalam kalimat.

matahari rabu siang adalah sekumpul persoalan masalalu yang terbuka
pintu-pintu tersingkap bijaksana, di dalamnya sekumpulan laron berterbangan nisbi menembangkan lagu sepi kesekian kali
aku menatap ke seluruh penjuru mata angin, mencoba berpaling dari bayang-bayang yang menari dalam cermin
luka kembali bersimbah darah, isyarat nurani dengan pasrah
serupa palestina dan afganistan, peluru-peluru terkapar menancapkan permintaan
lalu aku dibawa ke sebuah ruangan gelap, yang tak mampu kuhitung berapa banyak kursinya. sebuah bioskop, gudang atau sesuatu lain yang tak kuketahui.
di sini rekaman sejarah diputar kembali, dengan ketidakmengertian atau kepasrahan
karena akan ada tetes airmata berjatuhan. dengan tergesa kuambil sapu tangan biru harum parfummu yang dulu.
dan percakapan tak selesai suatu malam, ketika bahasa manis kita rasakan
berlari di ladang mengejar capung-capung terbang
bila lelah kita tersungkur di sebuah tepi bawah kelapa rindang.
bagai layang-layang kita banggakan saat menari ragu bersama kelepak angin di langit menembus awan tebal.
kita saling bersalaman dan sesekali berpelukan bagai seniman melepaskan kasihnya pada istri tercinta.
kisah yang tak ingin kusaksikan lagi, karena luka akan meneteskan darah hingga rindu penghabisan

perempuanku, jalan menikung di seberang kampung. tempat anak-anak menikah di bawah umur dan balada percintaan burung yang terhempas,
termangu dalam dekapan sunyi yang agung. pernah rasanya kita mencatat elegi indah pada pokok cemara,
tentang rindu yang menyatu, tentang keindahan kekupu menebar senyum haru.
tapi perputaran sejarah tak pernah lelah melepaskan segala berita pada masalalu.
hingga cerita cinta telah habis episode. sesaat setelah orang-orang ramai di jalanan mempertimbangkan keadilan serta kemanusiaan yang ditelanjangi. sesaat setelah para demonstran memperjuangkan hak asasi. dengan harga diri di tangan kanan, iri benci di kiri. sesaat setelah aku termangu, menatapmu tumbuh mekar bukan di pelataran rumahku.
mungkin inilah percakapan tak selesai suatu malam, ketika bahasa manis dirasakan. tak ingin kusapa kembali ketika malam datang menatapku rindang.

maka kubiarkan rindu menafsirkan lagu matahari rabu siang, dalam kata atau sepasang mata yang luka.

Juni 2010


LEDAKAN PANGGUNG

sudah kukatakan padamu
aku bukan penyair,
bukan penyanyi,
bukan penari.

hingga untuk baca puisi yang kutulis aku lupa larik
salah tafsir, hilang rima dalam deklamasi

hingga untuk bernyanyi aku bosan irama
lugu bahasa, ragu dalam suara.

hingga untuk menari aku gagap gerak,
lupa putaran, bingung loncatan.

tapi mengapa masih kau beri aku
ledakan panggung malam pertama?

Pacenan, 2010

SEPATAH KATA

: Warda

sepatah kata sebelum gerimis tiba di penghujung senja hari ini,
simpanlah di saku bajumu
bisa kau baca kapan saja kau mau
ketika di matamu aku sungkan mengetuk pintu.

karena kesendirian tak bisa mengubah keadaan
menjadi seberkas pernyataan rindu yang terpendam.
karena kesepian sudah melepasku dalam dilema musim
sepanjang waktu.
karena kesunyian salah menafsirkan keinginan dan hasratku yang dalam.

sepatah kata sebelum kedalaman rinduku sempurna,
pecah menjadi kalam bayang-bayang
bisikkanlah pada setiap desis doamu yang tulus
ikhlas penuh harap cemas kesekian.
karena penantian berkepanjangan di altar tak berpintu
sudah cukup mengenalkanku dengan kecutnya pertanyaan.
karena darimu aku ingin sesuatu lain
selain bisikan kecil dengan bayang-bayang yang berhenti mengucap
takbir dan tarhim.

”sempatkan aku bertamu di berandamu sebelum senja benar-benar pilu
meninggalkan sisa sepi di penghujung hari”

Al-Amien, 24 September 2010

NEGERI HIJAU

: Warda

kubayangkan kau duduk disini,
menceritakan keindahan kota yang kau jumpai di masalalu
kota jiwa penuh kenangan-kenangan beludru
tempat dimana kau melepaskan lelah sebelum akhirnya menyerah
tempat dimana kau bernyanyi menyambut musim bunga berguguran

aku mungkin salah karena takut arah matamu kembali berhijrah
ketakutan yang melebihi lepasnya matahari kali ini
aku mungkin salah karena takut semboyan yang kutitipkan
di ramadhan ini kau buang seketika atau kau kembalikan padaku
dengan sepatah kata airmata.
lebih dari sekedar takutnya penyair kehilangan kata dalam karya.

lalu aku ingin bernyanyi dalam kesendirian,
meski tak ada hujan atau angin yang menabuh gendang
meski hanya bayang-bayang mengintip di balik jedela
sambil berbisik nisbi membawa kabarmu yang malu diungkapkan.
sebuah tembang kenangan episode hari silam
penuh pertanyaan-pertanyaan di tembok hitam
negri hijau tempat kita bertemu saling mengungkap rahasia.

Al-Amien, 26 September 2010

Tidak ada komentar: