Badrul Munir Chair, lebih dikenal dengan nama pena Munajat Sunyi, Lahir di pesisir Ambunten (sebuah desa di pantai utara Sumenep-Madura), 1 Oktober 1990. Menulis cerpen dan puisi, karya-karyanya masuk dalam sejumlah Antologi bersama, diantaranya antologi cerpen Di Pematang Pandanaran (Matapena, 2009), Bukan Perempuan (Grafindo-Obsesi, 2010), dan beberapa antologi puisi, seperti Diorama (Antologi Penyair Tanpa Bilangan Kota) (Pondok Mas, 2009), Antologi Puisi Penyair Nusantara Musibah Gempa Padang (E Sastera, Kuala Lumpur 2010 ), kumpulan cerpen duetnya (bersama seorang teman) yang sudah terbit berjudul Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (FUY, 2009). Kini aktif bergiat di Masyarakat Bawah Pohon. Bisa dikunjungi di blognya: badrulmunirchair.blogspot.com.
Madura, Laut Dimana-mana
Madura, laut dimana-mana
ombak dan angin
rindu jadi gulana
di rumahku ada laut, hamparan pasir
serpihan kerikil, tripang dan kerang dari palung
seperti kepergianku semenjak kecil
pengembaraan tak ada ujung
halaman rumahku adalah laut
pohon nyiur, lambai daun yang gugur
buih-buih kenangan
menjelma badai dalam ingatan
di dadaku ada laut
tempatku mandi dan bersuci dari segala ihwal
kotoran-kotoran menepi
segala dengki padamlah
setiap kelahiran, pulanglah
Madura, laut dimana-mana
segala air adalah air mata
menetes hingga cakrawala
di ujung laut
segala rindu akan bermuara
Madura, laut
dimana
mana
(Juni 2010)
Kampung Lebak, Pantai Utara
Semerbak aroma kampung Lebak
tiba-tiba saja menyapa pagiku di Yogyakarta
suara ombak pantai utara, ayunan pohon siwalan, karang-karang, hamparan pasir, kotoran-kotoran manusia, sampah yang menepi, sengat aroma terasi. Mengapa begitu jelas sekali?
rumah-rumah kecil di sepanjang pesisir, beratapkan langit, cahaya purnama. Gunung pasir, tempat aku bermain , perlahan hilang ditangan para penambang yang tak panjang pikir.
kadang laut bergemuruh
para nelayan menghapus peluh
selamat pagi, kampung halaman!
kampung Lebak, pantai utara
kuingat menara masjid tempat matahari terbit, muara sungai, perbatasan desa-desa, sempat ku mengadu layang-layang, mengejar hingga seberang sungai, waktu kecil dulu.
telah kuhirup semerbak aroma kampung Lebak
sejauh mana cita-cita telah kujelajahi?
tak jarang, ingatan pada tanah kelahiran, memapah rindu jadi abu
(Yogyakarta, Juni 2010)
Perihal Abu yang Turun di Kotamu
yang tak sampai padamu, kekasih. adalah air laut
biru rindu, dan buih-buih masa lalu. mengombak
menenggelamkan sajakku.
kau datang dengan kecemasan seperti Merapi
mengirimkan lahar. bara cintamu
pada hatiku yang subur.
lalu kau hapus namanya dengan hujan abu
yang kerap turun di kotamu
aku pernah hidup sebelum kau datang
dan aku pernah mati di hatiku sendiri
tetapi kau, dengan lantang menamainya kenangan
mengutuknya menjadi letusan-letusan
maka di bibirmu aku mengungsi, lalu terkunci
selanjutnya. yang kerap datang, adalah ketakutan
ketakutan akan bencana
sebab kita tak pernah melakukan persiapan
tak ada hujan yang akan memayungi kita
tak ada air laut, tempat kita membasuh luka
lalu, hanya abu yang tersisa
sisa pembakaran setelah doa doa kita
abu abu yang akan mengasinkan sajakku.
(Yogyakarta, November 2010)
Jika Sudah Sampai Padamu, November
jika sudah sampai padamu november
kenanglah hujan tahun lalu. hujan dari matamu, kekasih
tentang asin perpisahan. lagu sendu yang mengantarkan perjalanan.
"aku akan menyeberang," katamu
lalu datang cemas yang paling rintik. mengetuk kaca
"selamat tinggal."
November adalah bulan hujan. bulan ketika Tuhan mentitahkan perpisahan
pada Adam dan Hawa. di surga itu mereka terpisah, di surga itu kita akan bertemu.
jika sudah sampai padamu hujan yang asing
tutuplah jendela. tak perlu kau menatap ke atas genting
yang berbaris mengulurkan tangan, selamat jalan.
semoga akan datang padamu, november yang lain.
(Yogyakarta, 2010)