Sabtu, 03 Oktober 2009
Zainul Muttaqien
Zainul Muttaqien Lahir di Dusun Garincang, Batang-Batang Laok, Batang-Batang Sumenep Madura 18 Nopember 1991, Beberapa bulan Pernah dipercaya menjadi Ketua Sanggar Andalas Ponpes Annuqayah Madura, sekarang telah hijrah ke Yogyakarta dan Aktif di Komunitas Matapena Yogyakarta
Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, sempat dimuat di beberapa Media; Majalah Kuntum (Jogjakarta,) Majalah Almadina(Surabaya) Radar Madura, Joglo Semar, dan beberapa Media Nasional atau Lokal lainnya.
Namanya juga sempat tercatat dalam Antologi puisi dan cerpen, Kaliopak Menari (Matapena: Jogjakarta, 2008) Wanita yang Membawa Kupu-Kupu (Dewan kesenian Sumenep,Mei 2008) ia akan pulang kampung nanti saat diakui sebagai Rajawali Penyair
Sajak-sajak: Zainul Muttaqien*
“ Tiga sajak kupersembahkan untuk kekasih hidup: Khatim Maulina 5 April 1991 Malaysia (Kerta Barat Dasuk Sumenep) “
Riwayat Sunyi Tubuhmu
-Khatim Maulina, Malaysia 5 April 1991
Semisal bir-bir yang mengalir di tubuhmu
Memanggil para pelayar menggelar kapal yang berangkat
Ke tubuhmu
Mulailah aku menenggelamkan gairah
Keningmu:
Sepi, para pelayar merapatkan malam
Dengan desah
Alismu:
Dahan,burung-burung singgah seusai perjalanan
Meneduh diri dari siang yang hasrat
Matamu:
Surga, mengabarkan malam yang di ranjang
Orang-orang akan bergumam pada matamu
Yang menderu rindu dari reruntuhan itu
Di matamu yang lepas belati nafsu
Hidungmu:
Gua payudan, melepas kisah potre koneng
Yang bening, sesinggah pertapa dari
Dentang riuh jalanan waktu
Pipimu:
Mengalir kata yang basah
Semalaman
Lehermu:
Dan selanjutnya langit akan runtuh
Melalui kisah khamer yang terus
Mengalir di tubuhmu di dadamu
Sampai waktu
Dan aku terus bermimpi
Dengan gelisah rindumu
Guluk-guluk, Annuqayah 08 Mei 2009
Surat Sore
-ketika kau sakit; Khatim Maulina 5 April 1991
Ada gerimis jatuh bertadabbur mengetuk dadaku
Dari mata, seusai surat sore
Kerumah kau pulang, aku menemukan jejak yang sakit
Mendinginkan gelisah pada hasrat-hasrat
Duh, engkau kekasihku
Madura 02 Agustus 2008
Hajar Aswad di Dadamu
-khatim Maulina,Malaysia 5 April 1991
Pada dua belah belantara gunung didadamu
Serupa hajar aswad mengabarkan aroma
Menggelisahi orang-orang berhaji
Yang berangkat ke surau sembahyang
Dan aku berlayar dalam sendiri hasrat sepi
Berangkat dengan perahu di mataku
Laut mengombak menyalami malam yang diranjang
Pada panorama asmara, di dermaga pelayaran
Hujan runtuh dalam gerimis mengair nikmat
Melahirkan usia pagi bocah-bocah dalam erangan helai
Sekedar kisah
Dari hempasan arah aroma hajar aswad di dadamu
Menyimpan semerbak khamer
Memabukkan pujangga-pujangga rindu di matamu
Lalu tersesat
Guluk-guluk, Annuqayah 29 Oktober 2009
Minggu, 18 Januari 2009
Oei K Lendi
Penulis tinggal di Pulau Garam madura. Mantan aktivis Sanggar Andalas dan Sanggar Kapas yang karyanya dimuat di situs sastra nasional kantongsastra.net. Antologinya yang pernah terbit, Bangkit (Sanggar Kapas 1998). Tertarik menulis sejak di bangku SMA.
kini hidup sebagai petani di desanya sambil belajar secara otodidak. "Bagi saya menulis adalah tempat bereksperesi yang paling aman tanpa takut ditindak oleh siapa pun". Alamat: JL. Pesantren Pandian Sumenep. Kontak email: lemarinaskah@gmail.com
kini hidup sebagai petani di desanya sambil belajar secara otodidak. "Bagi saya menulis adalah tempat bereksperesi yang paling aman tanpa takut ditindak oleh siapa pun". Alamat: JL. Pesantren Pandian Sumenep. Kontak email: lemarinaskah@gmail.com
REPLIKA
aku replika di kekar genggamanmu yang mencengkeram
hidup dengan anggota badan kaku mengecap rindu buntu. tersudut
diawetkan selera yang nyaris kehilangan romantisme dan kelembutan
menekan menghimpit, malah kerap menerkam-nerkam tuntaskan
kejutan-kejutan tak dinginkan. meratakan sekian ekosistem
berdasarkan asumsi dosa seolah tak patut diampunkan
dan aku memang replika. ditaruh menghuni wilayah,
di mana segala; lahan subur yang terbebaskan, rumah bagus
yang rapi terurus, langit biru bercorak cerah, hamparan hijau tanaman
yang terjaga, semua berupa replika, terbungkus kotak kristal,
direkatkan alotnya serangkai rencana petualang, yang mengelana
membagi-bagikan kata berbusa. membuncah. bahkan
pencahayaan, juga sirkulasi udaranya adalah imitasi buatan
kerap tersendat. ngadat. redup pengap yang sesungguhnya menyergap
GAMBAR
: buat arsyad indradi
ada gambar. roman mukanya biasa
tak tersenyum tak mengkerut. menatap
tanpa dendam tanpa luka. hanya berwarta,
kalau ia asing mengenali isi jiwa di dekatnya
hal yang tak pernah merasa ia miliki, yaitu
sekumpulan diksi berbeda yang tertera,
bukan yang pernah ia peluki dan cintai
SESEORANG DI GAPURA
lelaki itu bediri di gapura. tak jelas tengah menunggu
atau sedang menikmati sesuatu. terlihat bibirnya bergerak-gerak
seperti sibuk membaca, mengeja kalimat penuh rona lega
dibauri gelegak suka cita
alhasil, seseorang muncul dari arah lain. melambai
memanggil dengan vibra suara berkharisma. acungkan sketsa:
"oei...'
lelaki itu ragu antara menyahut atau bungkam
seribu bahasa membiarkan sangsi terus bernyanyi-nyanyi
sebab yang disodorkan pemanggil adalah raut keasingan
meski terasa pula dia yang dipanggil
di gapura,
akankah matahari bedaya
menjabar serta meluruskan prasangka?
entah
LANGKAH
langkah-langkah tersuruk kabut. menapak
rute-rute peta yang samar. remuk. menyandang
kutuk tengah dibentuk--kebutaan mengamuk,
menyusun ambruk demi ambruk menumpuk;
petaka memang sedang menggila!
telah kami sahuti seruan khotbah. anehnya,
jalan-jalan seperti garis pengantar tak jelas;
sepi tak mati meski sekian tahun diperangi
anyir-amis mengendap menyegat dalam hiruk
sadis terselubung yang rutin menciptakan
balon warna-warni pada tiap ulang tahun
dijulurkan tangan badut-badut penghibur
dengan senyum santun. dibarengi kata-kata manis
tingkah-tingkah menggelikan. akrobat-karobat
hebat menggiring penonton lena melupakan
laut yang dicemari. udara yang ditaburi polusi
hutan yang diberangus. serta sawah menghampar
yang diperah tak bernaga ketika pasar menjerit
gusar disabet pisau pemotong daging para tukang jagal
rasanya lam sudah kami, jauh berjalan
mengubur masa lalu. meretas kelabu. namun
bau dupa terus merebak kentalkan salam maut
hingga tak terpahami lagi,
kaki-kaki kami melangkah atau terperosok
jebakan yang teramat lembut untuk disebut
dusta dan kekejian
DARI HUTAN HINGGA KE TANJUNG
dari hutan hingga ke tanjung
hijau dan biru bukan isyarat damai dan aman. tahu-tahu
sebuah niat angin terencana. turun dari puncak bukit, torehkan jejak
tamak di semak-semak. tersingkap betapa busuk aroma
karena yang tumbuh bukanlah anggrek dan mawar, melainkan setangkai besar
bunga bangkai membingkai di balik rimbun daun yang anggun
dari hutan hingga ke tanjung
seruak berita adalah tambahan melekul kecewa,
pun begitu dari layar-layar hingga ke balik gedung-gedung,
berita yang sama bersahutan bersambungan berdengungan
membumbung menguap jelmakan pekat mendung mengurung
dari hutan hingga ke tanjung
cemar jiwanya tak terterka. seperti arah nasib yang meraba-raba
di area niscaya. meluka bersimbah ditetes getah-getah jadah
dari hutan hingga ke tanjung
hingga ke bilik-bilik gedung, rapal mantera aji mumpung
hikmat berlangsung
GELISAH
--buat ayu oon
gelisah berdebur seriuh bunyi ombak tanah kelahiran
kau miris menjamah sepi penunggu ruang tamu. dijangkau
bisikan waktu terus meninggi, sampaikan pesan: sketsa senja
tertanam di tubuhnya--o, alngkah ngeri bila dinikmati sendiri!
kecamukmu mungkin serupa doa-doa para nelayan yang dijauhi
ikan dalam sampan. biar berkali sauh dilempar yang terjaring
semata asin lautan, seolah menampik jejak sumringah kala turun
menjejak pasir pantai. lumrah jika rasa meresah. sebab cinta
tak pernah terbuka menuliskan catatan apa sebelumnya
dan sedang kereta masih tak tertangkap bersirine
bergerak dalam Pengasih rahasiaNya
melingkup semua
menuju segala
mengucur
berlaksa
senantiasa.
HITAM
hitam membisa. kanker di putih yang lalu basi
bersimbah nila. ternoda. dinodai. teriakan-teriakan suci,
puih!, itu bukan pengobat perih. juga macam kuman-kuman
gentayangan dalam hitam yang menghitam. buas menyekam
berbungkus sakral. memangsa. menyantap. menghabiskan
selaksa kesempatan, persetan hak-hak dan kepemilikan
lantaran persengketaan yang lahir lewat pemanjaan rangka aturan
selalu jitu gapai pemenangan yang diamini ketukan-ketukan
keabsahan. intinya, ialah hasrat dasyat yang berliaran menginginkan
menikam dada diri dalam-dalam sampai nyatu dengan kelam
dan terpampang selaksa bersatu padu kokoh
kentalkan hitam. maka hitam pun makin menghitam
makin menyuram makin mengkelam makin merunyam. melegam
hitam hitam hitam... kiblat disebut-sebut mulut di hati luput,
hilang hilang hilang... terang hilang, hitam menang berkembang
Langganan:
Postingan (Atom)